Petik Tebu Manten di Pabrik Gula Semboro
Senin, 02 Juni 2008
Langganan:
Postingan (Atom)
Petik Tebu manten
skip to main |
skip to sidebar
Umumnya, “Pesta Kebun Tebu” dilaksanakan antara bulan April dan Mei dengan menyelenggarakan berbagai perayaan dan biasanya berlangsung selama satu bulan penuh. Saat-saat seperti itu keceriaan terpancar dari wajah-wajah petani tebu, masyarakat sekitar pabrik gula serta seluruh manajemen dan karyawan pabrik beserta keluarganya. Hal itu bisa dimaklumi, karena sebentar lagi roda ekonomi akan bergerak, lapangan kerja akan terbuka, pendapatan akan mengalir, dan harapan yang sudah menunggu selama satu tahun (selama periode tanam tebu) akan segera bisa dinikmati. Petani tebu, manajemen dan karyawan, tukang tebang, jasa angkutan, penjual makanan dan minuman, semuanya akan kecipratan rezeki dari usaha agrobisnis tebu ini. Sekolah anak-anak akan segera terbiayai, keinginan-keinginan akan segera terpenuhi dan tanggungan-tanggungan akan segera terlunasi. Maka wajar apabila spirit atau gairah hidup, tampak jelas terpancar dari wajah-wajah mereka beserta keluarganya pada saat “pesta kebun tebu” ini berlangsung.
9.1 Ragam Pesta Kebun Tebu
Ada banyak istilah dipergunakan untuk menggambarkan pesta kebun tebu di barbagai daerah tempat PG berada. Hal itu berarti orang-orang yang terlibat dalam usaha pertebuan telah membentuk sebuah komunitas budaya dan budaya itu mengalami asimilasi dengan budaya setempat, maka lahirlah “budaya kebun tebu” khas pada masing-masing daerah. Keragaman “pesta kebun tebu” diilustrasikan sebagai berikut:
9.1.1 “Petik Tebu Manten” PG Semboro
“Pesta kebun tebu” yang dilakukan oleh masyarakat pertebuan di wilayah kerja PG Semboro Jawa Timur diawali dengan prosesi “Petik Tebu Manten”. Prosesi ini pada tahun 2005 dilaksanakan pada hari Jum’at, tanggal 6 Mei dan merupakan kegiatan awal rangkaian “pesta giling” yang akan berlangsung selama satu bulan penuh dengan aneka kegiatan perayaan. Adapun hari pertama giling untuk PG Semboro pada tahun 2005 dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 19 Mei 2005.
Makna “petik tebu manten” dalam acara ini adalah prosesi untuk mengawali panen tebu yang secara simbolis diwakili oleh beberapa batang tebu. Jumlah batang tebu yang diambil dalam “petik tebu manten” didasarkan pada neptu dan pasaran, yakni sebuah perhitungan horoskop yang didasarkan pada kalender Jawa. Sedang arah tebu yang dipetik pertama kali ditetapkan berdasarkan neptu, hari dan pasaran. Secara fisik, tebu yang dipilih merupakan tebu yang baik dan diperlambangkan sama dengan manten (pasangan mempelai) dalam adat Jawa. Untuk simbolisasi mempelai laki-laki dinamai Raden Bagus Rosan, sedangkan mempelai perempuan dinamai Diah Roro Manis.
Pada acara “petik tebu manten” PG Semboro tahun 2005, jumlah tebu yang dipetik pertama kali berjumlah 13 batang dan diambil dari arah timur (wetan=Jawa) PG Semboro. Pranoto coro (pembawa acara) menjelaskan bahwa arah asal tebu tersebut memiliki makna filosofis yang dalam bahasa Jawa disebut dengan wiwitan (permulaan). Artinya, segala sesuatu harus dimulai dengan keinginan yang kuat dan dalam konteks ini adalah keinginan yang kuat untuk meningkatkan taraf hidup petani tebu. Sehingga asal tebu tersebut merupakan simbol pesan atau nasehat bahwa untuk bisa meningkatkan kesejahteraan petani tebu diperlukan motivasi atau spirit yang kuat.
Tebu manten diiringi oleh “tebu pengiring manten” yang jumlahnya juga sebanyak 13 batang dan diambil dari posisi tengah-tengah dari jarak antara tempat lokasi tebu manten diambil dan lokasi PG Semboro. Lokasi berada di tengah dalam bahasa Jawa disebut pancer dan memiliki makna filosofi bahwa PG semboro merupakan pusat aktivitas processing tebu menjadi gula dengan bahan baku tebu yang didatangkan dari berbagai arah. Maka PG semboro akan menjadi pusat aktivitas masyarakat pertebuan dalam memproses tanaman tebunya menjadi gula.
Prosesi “petik tebu manten” dilaksanakan oleh sesepuh manajemen PG dan sesepuh petani tebu serta dilaksanakan mirip prosesi pernikahan dalam adat Jawa. Prosesi dimulai dengan memetik “tebu manten” pada sore hari untuk di “pingit” atau diinapkan dalam sebuah gubug berlokasi di areal kebun tebu yang telah ditetapkan. Gubug tersebut dinamai “Pondok Asri” dan di dekorasi sebagaimana tempat resepsi pernihakan dengan segala ubo rampe (peralatan) yang diperlukan dalam pernikahan dalam adat Jawa. Ubo rampe dibedakan dalam dua jenis, yaitu ubo rampe regol (pintu masuk) dan ubo rampe temanten (mempelai) yang mana masing-masing ubo rampe memiliki makna filosofi.
Ubo rampe regol terdiri dari janur kuning, sirih ayu, gedang ayu, daun puring, cengkir gading, godong ringin, kembar mayang, dan bleketepe pada tiang tarub. Sedangkan ubo rampe “temanten tebu” terdiri dari nasi kuning, jenang abang dan putih, jenang sengkolo dan cok bakal. Janur Kuning berasal dari kata jan atau sejanen yang berarti niat, tekad dan harapan; nur bermakna cahyo atau cahaya, kun bermakna urip atau hidup; dan ning berarti wening (suci). Secara keseluruhan janur kuning melambangkan pesan bahwa petani tebu harus memiliki niat, tekad, dan harapan yang mencerminkan pancaran kesucian dalam menjalani hidup. Sirih ayu mengandung pesan agar cepat tahu atau memahami sebuah maksud dan tujuan. Artinya bahwa kita harus sadar dan paham bahwa segala sesuatu itu harus memiliki maksud dan tujuan yang jelas. Gedang ayu melambangkan semangat, kemauan, dan petunjuk. Artinya bahwa tekad untuk hidup dalam pancaran kesucian itu memerlukan semangat dan kemauan serta tidak melupakan perlunya petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Daun puring melambangkan mencegah amarah. Artinya bahwa segala tindakan itu harus dilakukan dengan penuh ketenangan dan tidak dikendalikan oleh amarah. Cengkir gading melambangkan keteguhan pikiran yang berarti bahwa tekad yang baik dan kemauan yang kuat untuk hidup dalam pancaran kesucian itu harus dipegang secara teguh. Godong ringin melambangkan pengayoman yang berarti hidup kita semestinya bisa memberi manfaat bagi masyarakat sekeliling. Sedangkan kembar mayang melambangkan bersatunya kemauan. Dalam konteks ini memiliki pesan perlunya ikatan yang kuat antara PG dan petani tebu sehingga tercipta jalinan simbiose mutualis agar bisa membuahkan hasil kerjasama secara maksimal.
Adapun makna simbolisasi ubo rampe “temantan tebu” merupakan bentuk pengharapan untuk terciptanya ikatan atau persatuan yang kuat diantara dua tradisi, dua budaya, dua kebiasan, serta dua tipikal yaitu antara petani tebu dan PG. Sebut saja nasi kuning yang melambangkan keteguhan. Bahwa ikatan “pernihakan kerjasama” antara petani tebu dan pabrik gula itu diharapkan bisa dijaga secara teguh dan tidak mudah terlarut oleh godaan pihak ketiga yang dapat menyebabkan ikatan kerjasama itu menjadi tidak berhasil sehingga kedua belah pihak akhirnya merugi. Jenang abang melambangkan bapak/ibu dan mensimbolisasikan ikatan dua belah pihak yang akhirnya melahirkan produktivitas. Ikatan petani tebu dan PG dalam kerangka hubungan simbiose mutualis diharapkan bisa menghasilkan produktivitas yang tinggi setelah adanya saling pengertian dan hubungan yang harmonis di antara keduanya. Jenang sengkolo melambangkan harapan agar Tuhan senantiasa menjauhkan dari segala marabahaya yang bisa merusak ikatan itu. Sedangkan cok bakal melambangkan asal muasal manusia. Bahwa atas perjuangan keras yang dilakukan secara gigih dan tidak kenal lelah itu pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari peran Tuhan sebagai tempat manusia berasal dan akan berpulang. Oleh karena itu, cok bakal merupakan ekpresi tawakal, setelah segala ikhtiar dilakukan.
Pelaksanaan “petik tebu manten” di lingkungan PG Semboro Jember Jawa Timur pada tahun 2005 diawali dengan memetik (mengambil) 13 batang “tebu manten” pada hari Kamis sore tanggal 5 Mei untuk kemudian “dipingit” atau disemayamkan di “Pondok Asri” selama satu malam. Pada hari Jumat pagi tanggal 6 Mei sekitar jam 07.00 WIB dilanjutkan dengan acara siraman, midodareni, kirap manten, dan kemudian temu manten. Sebelum acara siraman dimulai, pasangan mempelai yang diperankan pemuda desa dan gadis desa terpilih, dipersilakan duduk di dampar (tempat duduk manten) dan diiring pengiring yang juga berasal dari gadis-gadis dan pemuda-pemuda desa terpilih dengan memakai pakaian pengantin Jawa. Dampar itu bertempat persis di depan “pondok Asri” dan berhadapan langsung dengan undangan yang berasal dari manajemen PG, petani tebu dan sesepuh desa maupun alim ulama setempat. Setelah pasangan mempelai duduk di “dampar manten”, acara dilanjutkan dengan memetik “pengiring tebu manten” sebanyak 13 batang yang dilakukan oleh personalia manajemen PG dan petani tebu secara bergantian. Acara itu diiringi gending-gending Jawa sebagaimana acara perkawinan dalam adat Jawa dilakukan dan dipandu oleh pranoto coro (pembawa acara) dalam bahasa Jawa.
Setelah “tebu pengiring manten” selesai dipetik dan dipegang berjajar-jajar di samping pasangan manten yang diperankan pemuda dan gadis desa, acara dilanjutkan dengan siraman. “Tebu manten” yang telah dipingit selama semalam kemudian dikeluarkan dari Pondok Asri untuk kemudian dilakukan siraman. “Tebu manten” yang telah ditata itu kemudian disiram dengan air kembang melalui sebuah kendi (teko Jawa yang bahannya berasal dari tanah) yang dilakukan oleh Adm PG Semboro dan Ketua APTRI Arum Sabil. Siraman ini memiliki makna pensucian diri baik lahir maupun batin di mana ikatan perkawinan hendaknya didasari oleh niat yang suci untuk bersatunya dua keinginan.
Secara filosofis, siraman ini mengandung pesan bahwa “perkawinan kerjasama” antara PG dan petani hendaknya didasari oleh motivasi yang bersih untuk bekerja secara beriringan, bukan oleh motivasi saling mencuri keuntungan, saling mengalahkan atau saling memanfaatkan antara yang satu dengan yang lain.
Kemudian acara dilanjutkan dengan “pecah kendi’ oleh Adm PG Semboro dengan dengan melafalkan kata-kata sebagai berikut: “aku ora mecah kendi, ning mecah pamore raden Bagus Rosan lan Diah Roro Manis” (saya tidak memecah teko tanah ini, tetapi memecah pamornya Raden Bagus Rosan dan Diah Roro Manis). Kata-kata itu sebenarnya merupakan ekpresi pengharapan kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar tebu yang dihasilkan dalam panen kali ini memperoleh hasil yang memuaskan. Acara pecah kendi ini menandai berakhirnya acara siraman yang kemudian dilanjutkan dengan midodareni atau persiapan manten untuk dipertemukan dengan prosesi dipingit terlebih dahulu.
Prosesi midodareni ini dilakukan dengan mengikat tebu baik “tebu manten” maupun “tebu pengiring manten” yang di dalamnya terdapat prosesi “iket rikmo” atau mengikat daun tebu manten dan pengiring manten dan “tigas rikmo” yaitu memotong pucuk daun tebu untuk dilarung di sungai yang berada antara kebun tebu dan Pondok Asri. Sebagai diungkapkan pranoto coro “tigas rikmo” ini dimaksudkan untuk membuang sial. Sehingga bisa dimaknai sebagai pengharapan agar proses “perkawinan kerjasama” antara petani tebu dan PG terbebas dari marabahaya sehingga berjalan lancar. “Tebu manten” dan “tebu pengiring manten” kemudian dipingit sebagai persiapan sebelum dikirap menuju PG.
Prosesi ini kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh KH MA Saiful Rijal AS, seorang kiai pimpinan pondok pesantren di Jember dan dilanjutkan dengan potong tumpeng oleh Adm PG dan Arum Sabil. Setelah itu dilakukan “kembul bujono” atau makan bersama antara manajemen PG, petani, dan undangan yang hadir dengan menu “tumpeng robyong” atau tumpeng lengkap yang disediakan oleh panitia. “Kembul bujono” ini diringi gending-gending Jawa namun bersyair Islami, sehingga dalam prosesi itu sangat jelas suasana religiusitasnya.
“Kembul bujono” memiliki makna filosofis adanya kebersamaan antara pengelola PG dan petani yang dicerminkan melalui kebersamaan dalam bentuk makan bersama tanpa membedakan strafikasi sosial, baik antara pimpinan dan bawahan maupun petani tebu. Semuanya duduk dalam satu tempat dengan menu yang tidak berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hal itu menyiratkan pesan bahwa hasil kerja yang baik itu apabila dilakukan dengan penuh kebersamaan, kesetaraan, saling mempercayai, dan tanpa saling curiga.
Setelah kembul bujono dengan para petani, karyawan PG, dan undangan, sekitar jam 09.00 WIB kirap tebu manten dimulai. “Tebu manten” dan “tebu pengiring manten” dikirap menuju lokasi penggilingan di PG Semboro dengan menggunakan puluhan mobil dan kereta safari yang dipimpin langsung oleh Ketua APTRI H.M. Arum Sabil. Iring-iringan “tebu manten” itu terdiri dari pembawa “tebu manten” dan “tebu pengiring manten”, disusul simbolisasi pengantin yang diperankan oleh pemuda-pemuda dan gadis-gadis desa dengan pakaian pengantin Jawa, para petani, undangan, dan anggota masyarakat yang secara sukarela dan suka cita mengikuti iring-iringan “tebu manten” dengan mengendarai puluhan mobil dan ratusan motor.
Rute iring-iringan melewati perkampungan warga dan areal-areal perkebunan tebu di sepanjang jalan menuju PG yang berjarak sekitar 10 kilometer dari lokasi “petik tebu manten”. Sehingga banyak warga masyarakat menyambut secara antusias dari pinggir jalan yang dilalui. Keceriaan akan datangnya musim giling terlihat jelas dari raut wajah mereka. Iring-iringan semakin lambat ketika semakin dekat dengan PG. Hal itu dikarenakan sambutan masyarakat yang berbaur dengan para “pedagang dadakan” yang berjejer-jejer sepanjang 1 kilometer di jalan masuk menuju PG semakin memperlambat iring-iringan “tebu manten”. Maraknya pedagang mainan dan minuman umumnya sudah mulai terlihat satu minggu sebelum “petik tebu manten” dimulai dan akan berlangsung selama satu bulan penuh. Oleh karenanya, walaupun hanya berjarak 10 kilometer, iring-iringan “tebu manten” beserta pengiringya baru bisa memasuki lokasi penggilingan setelah menghabiskan waktu tidak kurang dari 1 jam.
Sesampainya di pintu gerbang PG, iring-iringan turun dari mobil dan disambut atraksi “Reog Ponorogo” yang dimainkan oleh puluhan muda-mudi. Iring-iringan dipimpin tokoh petani tebu yang juga ketua APTRI Arum Sabil dengan berjalan kaki menuju lokasi penggilingan tebu dan dipandu oleh seorang cucuk lampah (pemandu rombongan) seorang penari Jawa serta diring-iringi dengan gending “kebo giro” khas pengiring pengantin Jawa. Sesampainya di lokasi penggilingan, iring-iringan “tebu manten” yang dipimpin Arum Sabil disambut oleh Adm PG semboro beserta karyawannya di bawah alunan gamelan Jawa yang secara khusus didatangkan di lokasi Giling.
Acara selanjutnya adalah prosesi “temu manten” di mana Ketua APTRI HM Arum Sabil mewakili petani tebu menyerahkan “tebu manten” dan “tebu pengiring manten” kepada Adm PG Semboro untuk di proses menjadi gula. “Temu manten” tersebut diawali dengan ikrar penyerahan “tebu manten” kepada Adm PG yang dilakukan oleh Arum Sabil. Dengan mantap, tegas, dan penuh khidmat Arum Sabil mengucapkan ikrar penyerahan itu:
“Bismillahirrohmaanirrohiim. Bersama ini saya serahkan tebu ini kepada Bapak Adm PG Semboro untuk di proses menjadi gula secara baik sebagaimana saya telah merawatnya selama ini. Perlu bapak ketahui tebu ini telah saya rawat selama satu tahun. Saya olah tanahnya, saya pupuk, saya beri air, dan saya jaga dari hama. Saat ini, saya serahkan kepada Bapak agar bisa diproses menjadi gula dengan baik sehingga hasilnya maksimal. Saya minta Bapak Adm untuk bisa menjaga kepercayaan ini”.
Selanjutnya Toekidjo, Adm PG Semboro mengucapkan ikrar penerimaan “tebu manten” itu:
“Dengan mengucap Bismillahirrohmaanirrohiim, tebu ini saya terima dan akan saya proses dengan baik untuk menjadi gula. Saya akan menjaga amanah Bapak Arum Sabil sebagai wakil petani tebu untuk memproses tebu ini dengan baik. Saya minta doa restu kepada Pak Arum Sabil dan segenap petani tebu serta para undangan yang hadir agar Tuhan Yang Maha Esa senantiasa mencurahkan karunianya sehingga pekerjaan kami lancar dan tidak ada hambatan apa pun, sehingga gula yang dihasilkan akan maksimal”.
Usai ikrar penerimaan “tebu manten” diucapkan oleh Toekidjo, Adm PG Semboro, tepuk sorai dari undangan gegap gempita membahana di aula giling tebu PG Semboro di tengah gamelan Jawa yang tiada henti mengalun. Selanjutnya Toekidjo membalikkan badan dan memberikan ikrar instruksi kepada segenap jajaran karyawannya yang tadinya mengiringi di belakang Toekidjo.
“Dengan mengucap Bismillahirrohmaanirrohiim, tebu yang dipercayakan petani kepada kita ini saya serahkan kepada segenap karyawan PG Semboro untuk diproses secara baik. Kita harus bisa menjaga amanah para petani ini sehingga bisa meperoleh hasil gula yang maksimal. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridhoi kita. Amin”.
Prosesi selanjutnya, karyawan PG Semboro terutama kepala-kepala unitnya yang juga berpakaian adat Jawa, satu per satu menerima “tebu manten” dan “tebu pengiring manten” untuk kemudian membawa tebu itu ke mulut penggilingan. Karyawan PG yang lain, segera sigap dan membunyikan sirine sebagai pertanda roda giling pertama tahun itu akan bergerak setelah selama berbulan-bulan libur. Satu per satu “tebu manten” dimasukkan ke penggilingan yang diiringi sorak-sorai para pengunjung yang berbaur dengan para karyawan. Hingga akhirnya semua tebu manten dan tebu pengiring manten masuk ke mulut penggilingan dan pelan-pelan tergilas oleh roda giling. Bergeraknya roda giling pada hari itu hanya merupakan simbolisasi, karena permulaan giling yang sebenarnya akan dimulai pada tanggal 19 Mei. Sejak tanggal itulah roda giling akan terus berputar dan tidak akan berhenti selama 180 hari.
Acara dilanjutkan ramah tamah dalam bentuk “dansa ala Jawa” yang umum dikenal dengan istilah “tayuban”. Beberapa penari berpakaian Jawa menari bersama secara bergantian dengan pimpinan PG dan para petani di bawah alunan gending Jawa. Menarik untuk dicermati ketika gending yang dilantunkan pertama kali untuk tayuban itu berjudul “ojo lamis” yang artinya jangan bebohong. Pranoto coro menguraikan bahwa gending itu merupakan pesan agar para karyawan PG Semboro tidak lamis (bohong) khususnya dalam masalah rendemen.
“Hari ini kita harus terbuka, dan tidak ada kebohongan lagi, terutama dalam masalah rendemen. Para karyawan jangan sampai berbohong, mari kita berbuat jujur kepada petani”.
Itulah uraian pranoto coro yang menjelaskan kontektualisasi gending lamis pada prosesi hari itu. Menarik, karena pesan yang sebenarnya kritis itu disampaikan dalam alunan lagu yang indah dan di tengah keceriaan. Sehingga pesan itu mengena sasaran tanpa menyinggung perasaan.
Acara tayuban dilakukan bergantian mulai karyawan PG struktur teratas hingga pada level bawah sampai pukul 11.00 WIB dan diakhiri karena akan segera melakukan sholat Jumat. Walaupun demikian “petik tebu manten” dan “pesta giling” tidak berakhir pada hari itu. Acara perayaan dan berbagai ajang seni terus berlangsung sebulan penuh.
Usai acara, HM Arum Sabil menguraikan bahwa kegiatan “petik tebu manten” itu sudah berlangsung sejak jaman nenek moyangnya atau sudah berjalan lebih dari 70 tahun, tepatnya sejak PG Semboro didirikan pada era kolonial Belanda. Menurutnya “petik tebu manten” tidak bisa dilihat hanya pada aspek budayanya saja, akan tetapi juga pada aspek spirit atau ruh dan filosofi dari kegiatan ini.
Pertama, prosesi “petik tebu manten” merupakan ekspresi atau demonstrasi perasaan kegembiraan dari segenap petani tebu, karyawan PG, masyarakat sekitar akan datangnya musim giling yang berarti terbukanya lapangan pekerjaan bagi puluhan ribu orang yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dari proses giling dalam sebuah PG. Petani tebu, karyawan PG, jasa tebang dan jasa angkutan, merupakan orang-orang yang terlibat langsung. Sementara para penjual jasa makanan dan minuman di sekitar kebun tebu, para anggota keluarga petani, karyawan PG, jasa tebang dan jasa angkutan maupun usaha-usaha jasa tempat nantinya para anggota keluarga orang-orang yang terlibat langsung dengan proses giling ini akan membelanjakan uangnya merupakan orang-orang yang tidak terlibat secara langsung namun akan juga menerima berkah dari datangnya musim giling. Begitu besarnya dampak ekonimis musim giling, maka wajar apabila petani tebu, karyawan PG, dan warga sekitar merayakannya dalam bentuk “petik tebu manten” dan dilanjut dengan “pesta giling” dengan segala perayaannya selama sebulan penuh.
Kedua, merupakan simbolisasi pengharapan dan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, agar kerja besar yang akan dihadapinya, mulai dari tebang tebu, angkut dan pengilingan, serta lelang gula dibebaskan dari marabahaya, sehingga hasil usahanya akan maksimal. Arum Sabil menuturkan bahwa bentuk-bentuk marabahaya itu bisa beragam seperti adanya kecelakaan angkutan, kebakaran tebu, berhentinya mesin giling maupun adanya kecelakaan yang menimpa para karyawan dan tenaga kerja. Oleh karena itu, sebagai bentuk pengakuan akan keterbatasan kemampuan manusia, maka sebelum memulai kerja besar itu para petani tebu, karyawan, dan anggota masyarakat memohon doa melalui beragam prosesi tersebut agar Tuhan Yang Maha Esa memberi perlindungan.
Ketiga, “petik tebu manten” merupakan simbolisasi pesan kepada petani maupun manajemen dan karyawan PG, bahwa terlaksanannya pekerjaan besar berupa giling tebu itu merupakan “perkawinan kerja” antara petani dan PG. Petani sebagai pemasok bahan baku, sedangkan manajemen dan karyawan PG sebagai tenaga pemrosesnya di mana antara satu sama lain saling membutuhkan dan saling tergantung. Maka prosesi “petik tebu manten” menggambarkan ikatan kerjasama antara petani tebu dan PG yang digambarkannya sebagai ikatan perkawinan. Hubungan PG dan petani tebu diibaratkan hubungan suami istri. Selayaknya suami istri dalam sebuah lembaga perkawinan, maka PG dan petani tebu harus mengikat komitmen untuk saling percaya, saling terbuka, berkomunikasi secara harmonis dan menghilangkan segala bentuk rasa curiga, saling menguasai, saling mencurangi, dan mengeksploitasi.
Keempat, “petik tebu manten” merupakan manifestasi dari tumbuhnya spirit hidup, baik dari petani tebu, manajemen dan karyawan PG, serta warga sekitar beserta keluarganya. Terbukanya lapangan pekerjaan, telah memunculkan harapan baru bagi puluhan ribu orang di sekitar yang terlihat dari keceriaan mereka selama menikmati “pesta kebun tebu” selama satu bulan penuh yang diawali oleh “petik tebu manten”. Perputaran uang menjadi meningkat, layanan-layanan jasa menjadi hidup kembali, harapan-harapan keluarga petani dan karyawan PG menemukan kesempatan untuk bisa dipenuhi. Biaya sekolah anak-anak, tanggungan-tanggungan hutang yang harus dilunasi maupun keperluan-keperluan hidup yang harus dipenuhi.
Menurut Arum Sabil, manfaat “pesta kebu tebu” yang diawali “petik tebu manten” juga merupakan ajang kreativitas bagi para seniman untuk bisa menunjukkan buah karyanya. Pentas-pentas seni yang digelar sebulan penuh merupakan wadah swadaya bagi aktualisasi para seniman daerah untuk menunjukkan hasil latihan yang telah dilakukan dengan tekun.
Mengomentari “pesta kebun tebu” ini Arum Sabil mencoba mengajak merenungkan betapa terpukulnya ekonomi rakyat apabila PG sampai tutup akibat maraknya penyelundupan dan instruksi IMF. Puluhan ribu orang akan kehilangan pekerjaan, kehilangan spirit dan keceriaan hidup, bukan hanya akan dirasakan oleh petani dan Karyawan PG, namun juga masyarakat sekitar yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan usaha tebu ini. Betapa bodohnya bangsa ini ketika harus menuruti perintah IMF dan bersedia menutup 41 PG di Jawa, maka akumulasi orang-orang yang kehilangan pekerjaan akan mencapai ratusan ribu orang. Betapa besar dampaknya, ketika para petani tebu menyerah dengan penyelundupan gula impor dan mengakibatkan PG tutup, akibatnya roda ekonomi ratusan ribu orang akan terhenti.
“Kita mesti tetap melihat pesta kebun tebu ini harus berlangsung, bahkan anak cucu kita. Karena adanya pesta kebun tebu, berarti ratusan ribu orang masih bisa menambatkan harapan hidupnya pada usaha ini”.
9.1.2 “Metikan” PG Jatibarang
Berbeda dengan PG Semboro, di PG Jatibarang Brebes Jawa Tengah, prosesi awal “pesta kebun tebu” dikenal dengan istilah upacara “metikan”, yang berasal dari bahasa Jawa “petik” yang berarti memetik. Istilah petik ini juga umum dipakai bagi masyarakat nelayan ketika musim ikan tiba dan oleh karenanya dilakukan upacara petik laut.
Biasanya pada malam sebelum upacara “metikan” digelar, dilakukan pembacaan salawat. Maka, lantunan salawat nabi dan rampak rebana terdengar di sela-sela roda baja tua mesin pemeras pabrik gula. Ratusan karyawan pabrik gula duduk bersila dengan khusyuk membaca doa demi keselamatan dan keberhasilan musim giling yang akan dijalani.
Sama dengan yang terjadi di PG Semboro, upacara dan kegiatan yang diselenggarakan PG tersebut memiliki magnitude bagi masyarakat untuk terlarut di dalamnya melalui serangkaian kegiatan. “Pesta kebun tebu” ditempat ini telah menjadi pesta rakyat dalam kalangan yang luas dan tidak hanya monopoli karyawan PG. Contohnya dengan adanya pagelaran pasar malam yang dilangsungkan selama beberapa hari. Sebagai gambaran suasana pasar malam di PG Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah pada tahun 2003 berlangsung sangat meriah. Anak-anak, remaja, dan orang tua membanjiri arena pasar malam yang padat hingga menutupi jalan sepanjang tak kurang dua kilometer di depan pabrik. Kota kecamatan yang kesehariannya tampak sunyi, dalam sepuluh hari terjadi hiruk-pikuk oleh kemeriahan pesta rakyat menjelang musim giling.
Pusat ekonomi skala kecil tumbuh di sekitar pusat pesta menandakan akan adanya rezeki dengan dimulainya giling tebu itu. Keramaian itu mengundang para pedagang dari luar Jatibarang untuk menggelar dagangannya. Serta hiburan musik dangdut dengan penyanyi lokal Jawa Tengah yang tetap menjadi hiburan primadona bagi kaum pedesaan di wilayah itu.
Perputaran uang di pasar malam itu diperkirakan puluhan juta setiap malam. Tiket masuk untuk nonton dangdut Rp 5.000 per kepala dan stan berkapasitas tempat duduk 300 kursi. Dalam semalam, stan dangdut tersebut dapat mengelar delapan kali pertunjukan. Belum lagi para pedagang arum manis hingga pakaian.
Denyut ritme kehidupan rakyat jelata dan nadi perekonomian rakyat terasa tumbuh. Denyut perekonomian tersebut terselenggara secara murni dari kreativitas masyarakat setempat dan bukan prakarsa pemerintah daerah setempat. Geliat ekonomi itu dijalankan rakyat secara mandiri.
Suasana di atas merupakan cermin singkat yang amat terasa betapa perekonomian rakyat pedesaan secara riil itu kentara, di sekitar lokasi pabrik gula menjelang musim giling. Perekonomian rakyat bawah menjadi hidup dan menjadi mata rantai perekonomian rakyat yang tak terputus selama musim giling bergulir.
Mulai persiapan musim giling, pabrik gula sudah membutuhkan tenaga buruh untuk memperbaiki mesin pabrik yang rusak agar rendemen yang dihasilkan meningkat. Di lahan pertanian dibutuhkan buruh tebangan, sementara sebelumnya tenaga kerja dibutuhkan untuk pemilahan bibit untuk musim tanam tahun depan. Sopir-sopir truk yang mengangkut tebu dari lahan tebangan menuju pabrik juga ketiban rezeki. Belum lagi masyarakat sekitar pabrik yang memanfaatkan musim giling untuk membuka warung makanan, tentunya juga para petani tebu di kawasan itu. Mata rantai ekonomi semacam itu menjadi panjang dan tak terputus bila ingin dijabarkan satu per satu.
Memang tak dapat dimungkiri, secara sistematis industri gula di Pulau Jawa yang notabene peninggalan Belanda itu masih bersifat tradisional dan membutuhkan banyak tenaga kerja, namun setidaknya mampu memberikan penghidupan bagi masyarakat pedesaan.
9.1.3 “Cembengan” PG Tasik Madu
Berbeda dengan PG Semboro Jember Jawa Timur dan PG Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah, PG Tasikmadu, Karanganyar Jawa Tengah, menyebut prosesi awal “pesta kebun tebu” ini dengan istilah Cembengan.
Upacara Cembengan semula hanya merupakan upacara ritual yang dilakukan oleh para pekerja di dalam PG untuk meminta keselamatan dan hasil produksi yang baik. Namun perkembanganya telah berubah menjadi pesta rakyat bagi masyarakat sekitar pabrik. Keramaian selama perayaan Cembengan menyerupai pasar malam yang berlangsung antara satu hingga dua pekan.
Puluhan pedagang mainan, pakaian, dan makanan menggelar dagangannya, baik di sekitar pabrik hingga ke halaman dalam pabrik. Berbagai jajan tradisional seperti es dawet, brondong jagung, arum manis, komedi putar, hingga pentas dangdut membuat Cembengan selalu menimbulkan kemeriahan yang melegakan. Pada hari-hari seperti ini, citra pabrik yang biasanya angker untuk sementara tersingkir. Antara karyawan dan warga masyarakat sesaat membaur.
Sayangnya, upacara Cembengan dan segenap nilai budaya lama yang mendukung keberadaan industri PG di Jawa itu kini telah mulai memudar seiring kemajuan jaman di satu sisi, dan mulai hilangnya kepercayaan terhadap satu sub sektor perekonomian yang lebih dari satu abad dianggap menjadi sumber penghidupan oleh sekian banyak orang.
Menurut sejarahwan Drs Soedharmono SU dari Universitas Sebelas Maret Solo (Kompas, Jumat 2 Juni 2000), ritual Cembengan sebenarnya merupakan adopsi dari tradisi Cina, Cing Bing. Yaitu tradisi ziarah ke makam leluhur menjelang suatu karya besar. Masyarakat keturunan Cina yang bermukim di pantura (pantai utara) Jawa yang mengenal teknologi pembuatan gula tebu ini pada masa lalu selalu melakukan upacara Cing Bing sebelum memproduksi gula.
Ritual Cembengan di PG Tasikmadu juga didahului ziarah ke makam-makam pendiri Praja Mangkunegaran di tujuh lokasi. Diawali dengan penebangan dua batang tebu temanten (pengantin) yang akan dijadikan tebu pertama pada saat giling perdana esok harinya. Petangnya dilanjutkan dengan ritual untuk meletakkan sesaji di lokasi mesin-mesin produksi yang dianggap vital.
Sesaji itu diletakkan di dalam jodang-jodang yang dihias dengan kertas. Isinya jenang, gecok bakar, telur asin, kinangan, tumpeng, ketupat, dan sebagainya. Dalam ritual itu, sembilan ekor kerbau dipotong dan kepalanya ditaruh di bagian-bagian mesin yang dianggap vital. Upacara yang disertai doa memohon keselamatan biasanya dipimpin langsung Administratur PG.
Rangkaian upacara ritual itu dilakukan dengan khidmat, serta melibatkan kalangan santri yang membawakan doa keselamatan. Esok harinya, mengawali giling perdana, dilakukan prosesi bagi tebu temanten berikut tebu pengiring. Ada perlakuan khusus bagi tebu-tebu tersebut. Selain batang tebunya dipilih yang paling baik dan memiliki rendemen tinggi, tebu temanten didandani layaknya pengantin dan mengenakan topeng Dewi Sri dan Dewa Sadana yang melambangkan kepercayaan masyarakat agraris.
PG Tasikmadu sekitar 15 kilometer arah timur Kota Solo, adalah PG kedua setelah PG Colomadu (1860), yang dibangun oleh pribumi yakni KGPAA Mangkoenagoro (MN) IV pada 11 Juni 1871. MN IV adalah seorang Adipati dari Pura Mangkunegaran yang terkenal sebagai pujangga, sekaligus cendekiawan yang memiliki pandangan jauh ke depan.
PG Colomadu (ditutup tahun 1997) dan PG Tasikmadu merupakan monumen hasil karya MN IV yang merefleksikan kecendekiawanan MN IV yang mumpuni (unggul) pada jamannya. Itu menunjukkan bahwa ia seorang ilmuwan yang menguasai berbagai masalah secara komprehensif.
Pembangunan PG ini, MN IV memiliki perhitungan yang amat matang. Hal itu terlihat dari posisi Waduk Delingan dekat PG Tasikmadu, dan Waduk Cengklik untuk kebutuhan PG Colomadu sengaja dibangun sebagai sumber air yang memberi pengairan kepada area tanaman tebu kedua PG, sehingga memberi dukungan bagi PG.
MN IV pun amat memperhatikan pelestarian hutan di sekitar waduk. Di samping untuk mencegah erosi, juga terjadi resapan air. Selain itu, ia membuat jaringan irigasi pengairan, bendung-bendung sungai, jalan untuk transportasi, serta jaringan rel kereta lori pengangkut tebu.
Dengan membuat jalur-jalur transportasi itu, selain untuk kepentingan pengangkutan hasil produk, jaringan transportasi juga sampai ke pelosok desa, sehingga PG menjadi sentra kegiatan ekonomi pada waktu itu. PG Tasikmadu merupakan aset ekonomi dan aset budaya yang tak ternilai.
9.1.4 “Ruwatan” PG Jatiroto
Lingkungan PG Jatiroto, Jember, Jawa Timur, juga menyelenggarakan prosesi awal “pesta kebun tebu” yang disebut dengan “ruwatan” yang berarti upacara tolak balak. Kemudian dilanjutkan dengan acara pasar malam yang terselenggara menjelang buka giling. Acara ini dikenal oleh masyarakat setempat dengan istilah Nayuban, namun juga ada yang memberi istilah Royalan. Perayaan itu biasanya diselenggarakan di halaman maupun tanah lapang sekitar pabrik gula, sehingga tempat itu dipenuhi berbagai atraksi guna memberi saran hiburan bagi masyarakat sekitar pada saat pesta giling. Peserta pasar malam biasanya datang dari berbagai kota, seperti Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo. Para pedagang datang tanpa diundang sambil menggelar berbagai sarana hiburan dan mainan anak-anak.
Tradisi “ruwatan” tampaknya sulit dihapus. Sebab, sangat erat sekali kaitannya dengan psikologi massa dan sugesti di masyarakat sekitar, terutama pekerja pabrik. “Pernah suatu ketika PG tidak melaksanakan ruwatan, akibatnya para pekerja malas-malasan, bila sampai terjadi kerusakan di pabrik atau musibah menimpa karyawan, maka mereka akan menyalahkan para pimpinan atau penanggung jawab perusahaan” (Kompas, Jumat 2 Juni 2000).
Pada saat musim giling, biasanya PG Jatiroto mempekerjakan tenaga musiman sebanyak 6.500 orang. Pekerjaan itu terbagi dari beberapa kelompok. Antara lain pekerja tebang tanaman sebanyak 4.000 orang dan pekerja pabrik sekitar 2.500 orang. Untuk setiap hektare tanaman tebu, paling sedikit akan mengerahkan sebanyak 10 truk. Mereka memperoleh upah paling sedikit sama dengan upah minimal regional (UMR), jika prestasi kerja melampaui standar bisa memperoleh upah lebih dari itu. Maka wajar apabila sebelum memulai pekerjaan besar itu masyarakat membudayakan untuk berdoa yang dimanifestasikan ke dalam beragam cara, agar pekerjaannya tidak menemui hambatan sehingga berhasil secara maksimal.
9.1.5 “Badrian” Jawa Barat
“Pesta kebun tebu” ini tampaknya telah melekat dan menjadi memori tersendiri bagi petani tebu dan masyarakat sekitar PG. Mari coba kita simak catatan harian Riadi dalam http:// riadi. blogdrive. com/ comments?id=18. Dalam catatan itu, Riadi menceritakan bahwa ambruknya PG telah melenyapkan pula “pesta kebun tebu” yang namanya “Badrian”. Kalau ditilik dari tulisan ini, kemungkinan lokasinya di sekitar Bandung, Jawa Barat. Cuplikan catatan tersebut digambarkan sebagai berikut:
“Perjalanan sebelas kilometer berikutnya adalah perjalanan rutin yang biasa dilakukan tiga tahun berturut-turut selama masa putih-abu. Angkot yang dulu biasa ditumpangi kini sudah berubah. Warnanya tetap kuning tapi bentuknya sudah sama dengan angkot Bandung. Dulu pintu masuknya dari belakang. Dan kapasitas bangku buat duduk berhadap-hadapan lebih panjang. Dan yang asyik, kalau lagi penuh sesak, kemungkinan untuk terjadi adu dengkul dengan penumpang di seberang bisa terjadi. Belum lagi ongkosnya yang murah. Dengan seratus rupiah perjalanan ke sekolah bisa tercapai sekitar 15 menit. Pukul rata, tiap kilometer nggak sampai sepuluh perak. Kalau mau murah lagi bisa nunggu bis dari Bandung dan cukup dengan membayar setengah harga. Banyak sekali perubahan yang terlihat di sepanjang jalan dari kampungku menuju sekolah. Pasar yang dulu pernah kebakar, memang masih tetap ada. Namun, jalan rel di seberangnya yang dulu posisinya dua meter di atas permukaan jalan raya, kini hilang dan sudah rata, sehingga jalan raya pun melebar. Hilangnya rel itu, bisa jadi karena sudah tidak berfungsinya pabrik gula yang dulu jadi bagian dari denyut ekonomi kampungku ini. Pabrik yang dulu megah dengan bangunan tua peninggalan Belanda, dengan lori, (gotrok), dan gerbong-gerbong pengangkut tebu yang berjejer, kini hanya tinggal puing dan belukar. Cuma cerobong asapnya saja yang bersisa. Yang lebih miris lagi, deretan rumah-rumah kuno para ambtenar pabrik juga sama telantarnya. Tidak serapih dan seapik dulu. Hanya beberapa rumah saja yang masih diisi. Sedangkan rumah yang paling gede, dengan pendopo dan pilar-pilarnya yang jumlahnya tinggal beberapa, malah sama sekali tdak berpenghuni. Layak untuk dijadikan lokasi uka-uka.
Kompleks pabrik gula itu, seingatku merupakan bagian elit dari kampungku. Dulu kalau lebaran selalu melaksanakan sholat Ied di lapangan di dalam kompleks itu. Dan, saya suka sedikit iri dengki dan ingin sekali tinggal di rumah kompleks itu. Pekarangan luas dengan tetumbuhan hijau dan rindang. Rumah yang kokoh dan besar-besar. Mirip rumah peristirahatan saja. Matinya pabrik gula, juga mematikan tradisi pesta panen tebu. Setiap April ada yang namanya ‘Badirian’. Pesta rakyat untuk merayakan panen raya tebu. Kompleks pabrik pun selama beberapa minggu ramai. Di tanah lapang tempat biasa sholat Ied, berdiri wahana-wahana permainan hiburan macem komidi putar vertikal dan horizontal dengan berbagai derivatifnya, tong setan, rumah setan, dan sejenisnya. Yang jualan pun ramai pula. Tidak hanya di dalam kompleks, namun juga sepanjang jalan raya di depannya. Yang saya ingat, banyak sekali tukang martabak telur yang berderet-deret dari daerah pantura, macem brebes dan tegal. Konon kabarnya mereka memang spesialis jualan di pesta tebu. Sekadar informasi, di kabupatenku dulu ada tiga pabrik gula yang beroperasi. Sepanjang jalan mestinya kebun tebu menghias pemandangan. Sekarang lahan-lahan itu berubah. Sebagian jadi sawah atau ladang, sebagian lagi menjadi perumahan. Mobil melaju lancar sampai akhirnya tiba di kota tujuan. Kesanku, kota ini masih sesepi dulu-dulu. Kurang berdenyut untuk disebut kota kabupaten. Jadi sepertinya julukan kota pensiunan masih layak disandang. Yang membedakan sekarang udaranya lebih panas, Mak !”
Catatan harian Riadi di atas menujukkan ikatan emosional yang kuat masyarakat terhadap “pesta kebun tebu”. Banyak memori masyarakat, baik yang indah-indah maupun susah yang memiliki setting (latar) kebun tebu. Sayangnya, di kampung halaman Riadi semua tinggal kenangan.
9.2 Tebu Sumber Inspirasi Budaya
“Pesta kebun tebu” merupakan budaya yang mengakar di lingkungan petani tebu maupun masyarakat sekitarnya. Sebuah budaya yang unik dan khas mengambil inspirasi dari aktivitas tebu yang akhirnya dapat disebut dengan “budaya kebun tebu”. Tebu sendiri bukan saja telah menjadi simbol sekaligus sumber inspirasi terbentuknya komunitas budaya, akan tetapi juga peradaban manusia.
9.2.1 Sejarah Kota Rembang
Banyak contoh budaya yang menjadikan tebu sebagai sumber inspirasi. Misalnya, legenda kota Rembang, yang kisahnya dapat kita lihat dalam situs Rembang.go.id. Konon ceritanya sekitar tahun Saka 1336, datanglah orang Campa Banjarmlati sebanyak delapan orang yang pandai membuat gula tebu. Orang-orang Campa itu pindah dari negerinya berangkat melalui lautan menuju ke barat hingga mendarat di sekitar sungai yang kiri-kanannya ditumbuhi pohon bakau. Mereka dipimpin oleh kakek Pow Ie Din.
Ketika mendarat, mereka melakukan doa dan semedi. Kemudian, mereka mulai menebang pohon bakau dan diteruskan oleh yang lain. Selanjutnya, tanah yang telah terbuka itu dijadikan lahan pategalan, pekarangan, perumahan, dan perkampungan. Kampung tersebut dinamakan KABONGAN berasal dari kata bakau menjadi Ka-Bonga-an.
Pada suatu hari, saat fajar menyingsing pada bulan Waisaka orang-orang akan memulai ngrembang (mbabat; memangkas) tebu. Sebelum ngrembang dimulai, terlebih dahulu diadakan upacara suci sembahyang dan semedi di tempat tebu serumpun yang akan dipangkas. Upacara pemangkasan tebu ini dinamakan Ngrembang Sakawit. Dari kata ngrembang inilah kemudian menjadi kata REMBANG sebagai nama Kota Rembang saat ini.
Menurut cerita rakyat, upacara ngrembang sakawit dilaksanakan pada hari Rabu Legi, saat dinyanyikan kidung, Minggu Kasadha, Bulan Waisaka, Tahun Saka 1337 dengan Candra Senkala: Sabda Tiga Wedha Isyara.
9.2.2 Komunitas Jawa Suriname
Begitu pula terbentuknya komunitas masyarakat Jawa di Suriname, yang juga diawali dari proyek kebun tebu pemerintah Kolonial Belanda. Situs http://www1.sr.net /~t100269/ index/d_sr/c _lembar/04jawa.html memaparkan bahwa dengan berakhirnya sistem perbudakan pada tahun 1863, maka banyak tenaga kerja perkebunan yang meninggalkan pekerjaannya. Mereka beralih ke lapangan kerja lain yang sesuai dengan keinginan masing- masing. Di lain pihak, hasil perkebunan yang saat itu merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Belanda, baik bagi pemerintah koloni maupun pemerintah pusat di Belanda, mengalami kemerosotan yang sangat tajam.
Sehubungan dengan kondisi tersebut maka Belanda mendatangkan orang-orang Indonesia (saat itu bernama Hindia Belanda) untuk memperoleh buruh murah yang akan dipekerjakan di perkebunan tersebut. Hampir semua imigran yang datang dari Indonesia berasal dari Jawa Tengah, karena pada saat itu Jawa Tengah sudah merupakan wilayah yang cukup padat penduduknya. Di samping itu, wilayah Jawa Tengah terbukti paling rawan terhadap bencana alam, terutama bencana letusan gunung berapi yang dalam banyak hal telah mengakibatkan rendahnya tingkat perekonomian penduduk di daerah ini.
Kelompok imigran Indonesia pertama yang terdiri dari 94 orang tiba di Suriname pada tanggal 9 Agustus 1890. Kelompok ini direkrut oleh De Nederlandsche Handel Maatschappij untuk dipekerjakan di perkebunan tebu dan perusahaan gula Marrienburg. Empat tahun kemudian (1894) perusahaan yang sama telah pula mengelola kedatangan kelompok kedua yang terdiri dari 582 orang Jawa.
Sejak tahun 1897 kedatangan para imigran dari Indonesia ini dikelola langsung oleh pemerintah Hindia Belanda. Dari tahun 1890 hingga 1939, jumlah seluruh imigran Indonesia tersebut mencapai 32.956 orang dengan menggunakan 34 kali pengangkutan. Orang-orang keturunan Jawa ini bekerja sebagai buruh perkebunan Belanda berdasarkan sistem kontrak. Berdasarkan perjanjian yang ada, para buruh Jawa tersebut memiliki hak untuk kembali ke negara asalnya (repatriasi) bila telah habis masa kontraknya. Dalam periode tahun 1890 – 1939, tercatat 8.120 orang yang telah kembali ke tanah air dan pada tahun 1947, terjadi lagi gelombang repatriasi dan kali ini tercatat 1.700 orang telah menggunakan haknya.
Repatriasi masal yang terakhir terjadi pada tahun 1954, yaitu ketika sekitar 1.000 orang Jawa meninggalkan Suriname untuk kembali ke Indonesia. Sebagian besar dari para imigran Jawa ini ternyata telah memilih untuk tetap tinggal di Suriname walaupun hubungan kontrak mereka dengan para pemilik perkebunan telah berakhir. Mereka tetap tinggal dan bekerja di daerah perkebunan itu sebagai pekerja bebas.
Bagi mereka, bekerja di perkebunan bukanlah merupakan sesuatu yang baru. Mereka juga telah terbiasa berhubungan dengan para majikan Belanda yang telah bertahun-tahun menjajah Indonesia. Keadaan seperti itulah yang oleh sementara ahli sejarah dipandang sebagai faktor yang mendorong orang-orang keturunan Jawa ini untuk mempertahankan pekerjaannya. Mereka tidak terpengaruh oleh buruh India yang pada umumnya meninggalkan pekerjaan mereka segera setelah masa kontraknya habis. Namun, ketika masa kejayaan perkebunan tebu mulai merosot, banyak orang Jawa yang beralih profesi menjadi buruh industri.
Mereka berpindah ke pusat-pusat pertambangan bauksit seperti Moengo, Paranam dan Biliton. Akibatnya, daerah yang semula dikenal sebagai “Distrik Jawa”, karena sebagian besar penduduknya keturunan Jawa, seperti Saramacca, Coronie, dan Nickerie, semakin kekurangan tenaga buruh.
Menjelang proklamasi kemerdekaan Suriname pada tahun 1975, banyak orang Jawa yang ikut ambil bagian dalam migrasi masal menuju Belanda. Dalam tahun tersebut sekitar 150.000 orang meninggalkan Suriname didorong oleh kekhawatiran mereka terhadap kemungkinan terjadinya bencana nasional serta dominasi dan penindasan politis yang dilakukan oleh golongan Kreol. Kekhawatiran tersebut muncul terutama selama masa kampanye menjelang pemilu tahun 1973, dalam rangka pembentukan pemerintah pertama bagi negara Suriname merdeka yang diwarnai oleh ketegangan hubungan antarsuku di negara tersebut.
Hanya sebagian kecil dari para imigran Jawa yang tiba di Suriname dengan berbekal kemampuan berbahasa Belanda. Mereka juga belum pernah mengenal bahasa yang digunakan oleh masyarakat setempat, seperti Sranan Tongo, Hindi, Amerindian, dan bahasa Bushnegro.
Para imigran tersebut pada umumnya bukan pekerja terlatih, terkecuali sejumlah kecil yang telah memiliki profesi sebagai petani, pekerja pada perusahaan gula, dan buruh perkebunan kopi/coklat. Keadaan tersebut telah diperburuk oleh kenyataan bahwa para penguasa Belanda yang otokratik, tidak memberi kesempatan bagi para imigran Jawa untuk berkembang. Di samping itu, karena Indonesia pada saat itu masih berada di bawah kekuasaan Belanda maka sebagian besar dari para imigran Jawa tersebut tercatat sebagai warga Belanda. Dengan demikian, tidak memiliki perwakilan khusus yang dapat digunakan untuk menyalurkan aspirasi mereka.
Hal ini merupakan unsur lain yang membedakan imigran Jawa dari rekan sekerja mereka yang berasal dari India, karena pada saat itu India telah memiliki suatu perwakilan yang dikenal dengan sebutan Agent General. Dengan demikian, tidak ada satu lembaga pun yang dapat berperan sebagai pendukung bagi perkembangan masyarakat Jawa di tahun-tahun awal keberadaannya di Suriname. Dalam hal ini, satu-satunya fasilitas yang dapat mereka nikmati adalah perlindungan kerja yang diberikan oleh para majikan mereka. Namun para majikan ini pun, dalam peranannya sebagai ujung tombak perekonomian Belanda, akan lebih menitikberatkan pada hasil kerja para buruh dari pada upaya untuk meningkatkan standar hidup bawahannya tersebut.
Ditinjau dari segi ini, maka pembukaan Konsulat Jenderal RI segera setelah diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat keturunan Jawa di Suriname. Faktor lain yang dapat dianggap sebagai penyebab keterbelakangan masyarakat keturunan Jawa ini adalah demikian kuatnya kelompok ini memelihara pola kehidupan tradisional mereka. Mereka selalu menolak setiap pengaruh asing yang dipandang dapat merusak pola kehidupan yang mereka yakini. Mereka juga dikenal sebagai kelompok yang sangat menentang pola kehidupan Barat.
Beberapa orang keturunan Jawa baru dapat menduduki posisi yang agak terpandang setelah kira-kira 30 tahun sejak kedatangan mereka pertama kali. Posisi tersebut misalnya mandor tebu dan lurah di kawasan perkebunan, perawat, interpreter, dan beberapa orang guru.
Pada akhir tahun 1970-an, sejumlah kecil keturunan Jawa telah berhasil menyandang gelar kesarjanaan dalam bidang teknik, hukum, kedokteran, ekonomi, fisika, dan theologi. Namun secara umum, mereka tetap tidak tertarik untuk melakukan kegiatan-kegiatan bisnis, hanya beberapa yang telah berhasil sebagai pengusaha toko, angkutan, dan restoran. Bidang politik ternyata lebih menarik perhatian mereka. Masyarakat Jawa terkotak-kotak oleh adanya beberapa partai yang dipimpin oleh orang-orang yang memiliki pengaruh kuat dan tidak didasarkan pada ideologi yang jelas.
Pada pemilu tahun 1977, partai-partai Jawa tersebut secara bersama-sama berhasil memperoleh empat kursi di parlemen. Pada tahun 1979, dua orang keturunan Jawa berhasil menduduki jabatan menteri dan seorang lainnya menjabat deputi menteri. Pada Tahun 1991, dalam masa pemerintahan Presiden Venetiaan tiga jabatan Menteri dipegang oleh keturunan orang jawa. Di samping itu, partai-partai Jawa (KTPI dan Pendawa Lima) secara bersama-sama berhasil memperoleh delapan kursi di parlemen. Pada saat ini, di bawah pemerintahan Presiden Jules Wijdenbosch, dari 18 jabatan menteri Suriname terdapat enam jabatan menteri dan satu jabatan Deputy Menteri yang dipegang keturunan Jawa. Selain itu, masih terdapat sembilan anggota parlemen keturunan Jawa dari partai koalisi (KTPI dan Pendawa Lima) dan dua anggota dari partai oposisi (Pertjajah Luhur). Namun, jabatan penting lainnya seperti presiden, wakil presiden, Badan Penasehat Negara, dan Lembaga Peradilan, hingga saat ini belum pernah dipegang orang-orang keturunan Indonesia tersebut. Cerita itu hanya sepenggal catatan sejarah bahwa industri gula khususnya kebun tebu sangat melekat dengan proses perkembangan peradaban.
9.2.3 Tebu dan Sejarah Perbudakan
Daratan Eropa merupakan saksi keterkaitan antara perbudakan dengan kebun tebu karena di Eropa perkebunan dan industri gula analog dengan budaya perbudakan. Melalui “triangle of trade”: Eropa-Afrika-India Barat. Dari Eropa dibawa barang-barang hasil industri ke Afrika, kemudian di Afrika ditukar dengan budak, dan budak dibawa ke India Barat ditukar dengan gula, akhirnya gula dan molasses diangkut ke Eropa.
Triangle lainnya adalah New England-Afrika-India Barat, dengan pola yang sama. Jumlah budak ini jutaan orang, sebagaimana tergambar dengan populasi penduduk di Kepulauan Karibia dan Amerika Serikat. Di Indonesia, gula juga tidak lepas dari sejarah perbudakan Kolonial Belanda melalui tanam paksa. Rakyat Indonesia dipaksa untuk menanam tebu yang hasilnya dipergunakan untuk memperbesar cadangan devisa pemerintah Kolonial Belanda.
Tebu Jawa, dengan segenap eksploitasi tenaga kerja rakyatnya telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit pembangunan infrastruktur negara Belanda. Kontribusi gula Jawa telah membuat negeri itu mempunyai kekuatan ekonomi di tengah-tengah kekuatan negara ekonomi kuat Eropa lainnya.
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan dan pasca kemerdekaan juga banyak menceritakan kaitan dengan tebu. Sebagai contoh, suka duka para pejuang bangsa tidak lepas dari konfrontasinya dengan pemerintah kolonial beserta antek-anteknya yang dimulai dari kebun tebu. Kisah para pendukung Pangeran Diponegoro yang membakar kebun tebu di Madiun, merupakan ekpresi perlawanan masyarakat Indonesia terhadap penjajahan Belanda. Tebu pada saat itu merupakan simbol kekuatan ekonomi Belanda di tanah nusantara.
Intrik politik bangsa ini juga tidak lepas dari persaksian kebun tebu. Tulisan Hermawan Sulistyo, “Pembantaian di Kebun Tebu” telah banyak menginformasikan, betapa kebun tebu telah menjadi saksi bisu atas peristiwa-peristiwa itu.
Sejarah menunjukkan bahwa komoditas tebu telah menjadi inspirasi terbentuknya komunitas budaya, yaitu “Komunitas Kebun Tebu” dengan segala budayanya, “budaya kebun tebu”. Budaya kebun tebu umumnya dicirikan dalam bentuk stratifikasi feodal berkaitan pola relasi antara pihak-pihak yang terkait. Hubungan antara, petani, buruh, mandor, dan pabrik merupakan bentuk hubungan bawahan-atasan, kawulo-gusti..
Hierarki pola relasi ini terbentuk melalui evolusi dalam periode panjang dan telah 2.000 tahun berlangsung. Maka tidak heran hingga saat ini di mana demokrasi sedang mainstream, komunitas kebun tebu yang feodalistik, masih sering kita jumpai. Tebu telah menjadi saksi pahit getirnya umat manusia membangun peradaban.
9.3 Makna Filosofis Pesta Kebun Tebu
Sekilas pesta kebun tebu hanya merupakan bentuk perayaan. Namun apabila kita cermati, sebenarnya mengandung filosofi yang mendalam dan keberadaanya telah mendarah daging di masyarakat. Pertama, merupakan manifestasi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, apa pun varian cara yang dilakukan, menurut keyakinan masing-masing. Rasa syukur perlu dikedepankan mengingat kerja kerasnya telah dikaruniai keberhasilan dan sebentar lagi akan melakukan panen. Oleh karena itu, agar mencapai finishing touch (proses akhir) berupa giling tebu dan hasilnya bisa diuangkan secara maksimal, maka dilakukanlah doa agar berjalan dengan sukses.
Kedua, merupakan ilustrasi terkabulnya harapandan penantian panjang selama setahun bekerja keras. Pesta kebun tebu merupakan kristalisasi keceriaan bahwa kerja kerasnya sudah hampir bisa dinikmati. Pesta kebun tebu juga merupakan obat penawar atas keluh kesah petani yang selama proses penanaman dan perawatan mengalami kesulitan modal, pupuk, dan bibit serta ancaman hama. Semua keluh kesah itu terhapus oleh munculnya harapan baru.
Ketiga, merupakan bentuk keberlangsungan roda kehidupan, karena hasil panen itu telah dinantikan untuk melangsungkan hidupnya, membiayai anak-anak dan keluarganya, merupakan pintu untuk meraih cita-cita dalam hidupnya. Sebuah kebanggaan bisa membahagiakan keluarga. Maka pesta kebun tebu merupakan terwujudnya “janji” keluarga yang telah dinantikan selama setahun.
Keempat, pesta kebun tebu merupakan tanda bergeraknya roda ekonomi masyarakat. Hidup menjadi dinamis dan berdampak pada banyak sektor ekonomi rakyat. Pedagang, usaha angkutan, petani, dan karyawan PG beserta keluarganya.
9.4 Pesta Kebun Tebu Harus Tetap Berlangsung
Menelaah lebih lanjut ”pesta kebun tebu” yang sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun itu, Arum Sabil menegaskan bahwa merupakan agenda petani tebu agar “pesta kebun tebu” tetap berlangsung, sekaligus merombak pesta kebun tebu itu menjadi keceriaan yang sejati bagi petani tebu. Bukan kebahagiaan semu, karena dalam sejarahnya petani tebu hanya mendompleng kelezatan komoditas tebu pada juragan-juragan yang feodal.
Sebagai seorang muslim, Arum Sabil sadar bahwa setiap perubahan harus dimulai dari perubahan diri mereka sendiri, bukan melihat orang lain terlebih dahulu. Dalam sebuah ayat Al Quran disebutkan: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka” (TQS Ar Ra’du: 11). Jika petani ingin berubah nasibnya, tidak selalu berada di bawah bayang-bayang keterpurukan, dan iklim feodalistik yang subordinatif, mereka harus bergerak dan bergolak melakukan perubahan yang lebih baik. Potensi kekerabatan petani yang sedemikian kuat akan menyakinkan perubahan itu bisa dilakukan. “Bersama kita bisa”, Itu yang ada dalam benak Arum Sabil sambil mencuplik salah satu slogan kampanye Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Arum Sabil menunjukkan sikap empatinya ketika melihat kegigihan manajemen PT Perkebunan Nusantara XI yang sejak awal tidak akan menutup PG-PG di lingkungan PTPN XI, walaupun banyak PG yang terus merugi selama tahun 2003. Alasannya secara kumulatif pada tahun 2003 itu, pihak PTPN XI masih membukukan laba. Dan yang lebih penting, penutupan PG itu dikhawatirkan akan melenyapkan tradisi komunitas tebu di daerah sekitar PG bersangkutan dan pesta kebun tebu itu dengan sendirinya akan lenyap (Kompas, 14 Januari 2004).
Kenapa pesta kebun tebu itu harus tetap berlangsung? Arum Sabil menegaskan bahwa keberlangsungan pesta kebun tebu memiliki banyak dimensi. Pertama, masih adanya pesta kebun tebu berarti adanya lapangan pekerjaan yang melibatkan secara langsung jutaan orang Indonesia, di mana orang-orang itu menjadi tumpuan anggota keluarganya. Meraka adalah para karyawan PG, petani, dan pekerja musiman PG. Secara tidak langsung akan melibatkan tenaga kerja yang tidak sedikit, mulai dari sektor jasa angkutan (transportasi), usaha sarana produksi pertanian dan penyedia makanan, serta usaha distribusi gula. Karenanya, dengan adanya pesta kebun tebu menandakan bahwa IGN masih eksis dan lapangan kerja masih terbuka.
Kedua, berlangsungnya pesta kebun tebu juga bermakna penyelamatan devisa negara. Pertumbuhan masyarakat Indonesia semakin signifikan dari waktu ke waktu, yang berarti pertumbuhan kebutuhan gula semakin meningkat. Apabila diasumsikan konsumsi masyarakat kita sama dengan kebutuhan pada hari ini, 3,5 juta ton, sementara pesta kebun tebu tidak ada lagi, yang berarti PG-PG ambruk dan akhirnya negara akan tergantung pada belas kasihan impor maka devisa yang akan terkuras untuk memenuhi gula dalam negeri akan mencapai triliunan.
Ketiga, adanya pesta kebun tebu juga menandakan berjalannya roda ekonomi rakyat. Karena persebaran budidaya tebu dan PG berada dalam skala kawasan yang luas, sehingga melibatkan banyak komponen masyarakat dan akan menstimulus gerak laju roda ekonomi rakyat.
Berbagai proposisi itu menjadikan keberlangsungan pesta kebun tebu harus tetap dipertahankan bahkan harus ditingkatkan agar mampu swasembada gula nasional serta petani memiliki keuntungan ekonomis yang memadahi. Untuk menjadikan pesta kebun tebu tetap berlangsung, diperlukan komitmen dan keberpihakan para penyelenggara negara untuk mewujudkannya. Sementara, petani juga tidak boleh ketinggalan untuk berada pada garda terdepan dalam memengawal usaha itu, sehingga kejayaan petani tebu dan IGN benar-benar segera terwujud. “Bagaimanapun pesta kebun tebu harus tetap bisa disaksikan. Bukan hanya oleh kita, akan tetapi juga anak cucu kita”.
***
Pesta Tebun Tebu Harus Terus Berlangsung
“Pesta kebun tebu harus tetap berlangsung. Adanya Pesta kebun tebu berartiPesta Kebun Tebu merupakan terminologi yang dipakai untuk mengambarkan sejumlah prosesi dan perayaan yang dilakukan oleh petani tebu dan segenap manajemen pabrik gula pada saat mulai tebang tebu pertama kali dilangsungkan, yang berarti juga menandai musim giling akan segera dimulai. Pesta kebun tebu dirayakan para petani tebu dengan berbagai cara, mulai dari sekadar tasyakuran, ritual adat, maupun bentuk-bentuk perayaan lainnya. Acara ini merupakan rangkaian awal dari pesta giling yang biasanya dilakukan di pabrik-pabrik gula sebagai tanda dimulainya periode giling pada tahun itu. Prosesi tebang tebu untuk yang pertama dan kemudian disusul dengan pesta giling dengan segala bentuk perayaan yang mengiringi itulah yang disebut dengan “Pesta Kebun Tebu”.
jutaan orang masih bekerja, ekonomi rakyat bergerak, devisa negara bisa di hemat
dan tidak bergantung serta dikendalikan negara lain dalam masalah gula. Oleh
karena itu kita harus bekerja keras, agar pesta kebun tebu tetap bisa
disaksikan. Tidak hanya oleh kita, akan tetapi juga anak-anak cucu
kita”.
(Arum Sabil, 2005)
Umumnya, “Pesta Kebun Tebu” dilaksanakan antara bulan April dan Mei dengan menyelenggarakan berbagai perayaan dan biasanya berlangsung selama satu bulan penuh. Saat-saat seperti itu keceriaan terpancar dari wajah-wajah petani tebu, masyarakat sekitar pabrik gula serta seluruh manajemen dan karyawan pabrik beserta keluarganya. Hal itu bisa dimaklumi, karena sebentar lagi roda ekonomi akan bergerak, lapangan kerja akan terbuka, pendapatan akan mengalir, dan harapan yang sudah menunggu selama satu tahun (selama periode tanam tebu) akan segera bisa dinikmati. Petani tebu, manajemen dan karyawan, tukang tebang, jasa angkutan, penjual makanan dan minuman, semuanya akan kecipratan rezeki dari usaha agrobisnis tebu ini. Sekolah anak-anak akan segera terbiayai, keinginan-keinginan akan segera terpenuhi dan tanggungan-tanggungan akan segera terlunasi. Maka wajar apabila spirit atau gairah hidup, tampak jelas terpancar dari wajah-wajah mereka beserta keluarganya pada saat “pesta kebun tebu” ini berlangsung.
9.1 Ragam Pesta Kebun Tebu
Ada banyak istilah dipergunakan untuk menggambarkan pesta kebun tebu di barbagai daerah tempat PG berada. Hal itu berarti orang-orang yang terlibat dalam usaha pertebuan telah membentuk sebuah komunitas budaya dan budaya itu mengalami asimilasi dengan budaya setempat, maka lahirlah “budaya kebun tebu” khas pada masing-masing daerah. Keragaman “pesta kebun tebu” diilustrasikan sebagai berikut:
9.1.1 “Petik Tebu Manten” PG Semboro
“Pesta kebun tebu” yang dilakukan oleh masyarakat pertebuan di wilayah kerja PG Semboro Jawa Timur diawali dengan prosesi “Petik Tebu Manten”. Prosesi ini pada tahun 2005 dilaksanakan pada hari Jum’at, tanggal 6 Mei dan merupakan kegiatan awal rangkaian “pesta giling” yang akan berlangsung selama satu bulan penuh dengan aneka kegiatan perayaan. Adapun hari pertama giling untuk PG Semboro pada tahun 2005 dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 19 Mei 2005.
Makna “petik tebu manten” dalam acara ini adalah prosesi untuk mengawali panen tebu yang secara simbolis diwakili oleh beberapa batang tebu. Jumlah batang tebu yang diambil dalam “petik tebu manten” didasarkan pada neptu dan pasaran, yakni sebuah perhitungan horoskop yang didasarkan pada kalender Jawa. Sedang arah tebu yang dipetik pertama kali ditetapkan berdasarkan neptu, hari dan pasaran. Secara fisik, tebu yang dipilih merupakan tebu yang baik dan diperlambangkan sama dengan manten (pasangan mempelai) dalam adat Jawa. Untuk simbolisasi mempelai laki-laki dinamai Raden Bagus Rosan, sedangkan mempelai perempuan dinamai Diah Roro Manis.
Pada acara “petik tebu manten” PG Semboro tahun 2005, jumlah tebu yang dipetik pertama kali berjumlah 13 batang dan diambil dari arah timur (wetan=Jawa) PG Semboro. Pranoto coro (pembawa acara) menjelaskan bahwa arah asal tebu tersebut memiliki makna filosofis yang dalam bahasa Jawa disebut dengan wiwitan (permulaan). Artinya, segala sesuatu harus dimulai dengan keinginan yang kuat dan dalam konteks ini adalah keinginan yang kuat untuk meningkatkan taraf hidup petani tebu. Sehingga asal tebu tersebut merupakan simbol pesan atau nasehat bahwa untuk bisa meningkatkan kesejahteraan petani tebu diperlukan motivasi atau spirit yang kuat.
Tebu manten diiringi oleh “tebu pengiring manten” yang jumlahnya juga sebanyak 13 batang dan diambil dari posisi tengah-tengah dari jarak antara tempat lokasi tebu manten diambil dan lokasi PG Semboro. Lokasi berada di tengah dalam bahasa Jawa disebut pancer dan memiliki makna filosofi bahwa PG semboro merupakan pusat aktivitas processing tebu menjadi gula dengan bahan baku tebu yang didatangkan dari berbagai arah. Maka PG semboro akan menjadi pusat aktivitas masyarakat pertebuan dalam memproses tanaman tebunya menjadi gula.
Prosesi “petik tebu manten” dilaksanakan oleh sesepuh manajemen PG dan sesepuh petani tebu serta dilaksanakan mirip prosesi pernikahan dalam adat Jawa. Prosesi dimulai dengan memetik “tebu manten” pada sore hari untuk di “pingit” atau diinapkan dalam sebuah gubug berlokasi di areal kebun tebu yang telah ditetapkan. Gubug tersebut dinamai “Pondok Asri” dan di dekorasi sebagaimana tempat resepsi pernihakan dengan segala ubo rampe (peralatan) yang diperlukan dalam pernikahan dalam adat Jawa. Ubo rampe dibedakan dalam dua jenis, yaitu ubo rampe regol (pintu masuk) dan ubo rampe temanten (mempelai) yang mana masing-masing ubo rampe memiliki makna filosofi.
Ubo rampe regol terdiri dari janur kuning, sirih ayu, gedang ayu, daun puring, cengkir gading, godong ringin, kembar mayang, dan bleketepe pada tiang tarub. Sedangkan ubo rampe “temanten tebu” terdiri dari nasi kuning, jenang abang dan putih, jenang sengkolo dan cok bakal. Janur Kuning berasal dari kata jan atau sejanen yang berarti niat, tekad dan harapan; nur bermakna cahyo atau cahaya, kun bermakna urip atau hidup; dan ning berarti wening (suci). Secara keseluruhan janur kuning melambangkan pesan bahwa petani tebu harus memiliki niat, tekad, dan harapan yang mencerminkan pancaran kesucian dalam menjalani hidup. Sirih ayu mengandung pesan agar cepat tahu atau memahami sebuah maksud dan tujuan. Artinya bahwa kita harus sadar dan paham bahwa segala sesuatu itu harus memiliki maksud dan tujuan yang jelas. Gedang ayu melambangkan semangat, kemauan, dan petunjuk. Artinya bahwa tekad untuk hidup dalam pancaran kesucian itu memerlukan semangat dan kemauan serta tidak melupakan perlunya petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Daun puring melambangkan mencegah amarah. Artinya bahwa segala tindakan itu harus dilakukan dengan penuh ketenangan dan tidak dikendalikan oleh amarah. Cengkir gading melambangkan keteguhan pikiran yang berarti bahwa tekad yang baik dan kemauan yang kuat untuk hidup dalam pancaran kesucian itu harus dipegang secara teguh. Godong ringin melambangkan pengayoman yang berarti hidup kita semestinya bisa memberi manfaat bagi masyarakat sekeliling. Sedangkan kembar mayang melambangkan bersatunya kemauan. Dalam konteks ini memiliki pesan perlunya ikatan yang kuat antara PG dan petani tebu sehingga tercipta jalinan simbiose mutualis agar bisa membuahkan hasil kerjasama secara maksimal.
Adapun makna simbolisasi ubo rampe “temantan tebu” merupakan bentuk pengharapan untuk terciptanya ikatan atau persatuan yang kuat diantara dua tradisi, dua budaya, dua kebiasan, serta dua tipikal yaitu antara petani tebu dan PG. Sebut saja nasi kuning yang melambangkan keteguhan. Bahwa ikatan “pernihakan kerjasama” antara petani tebu dan pabrik gula itu diharapkan bisa dijaga secara teguh dan tidak mudah terlarut oleh godaan pihak ketiga yang dapat menyebabkan ikatan kerjasama itu menjadi tidak berhasil sehingga kedua belah pihak akhirnya merugi. Jenang abang melambangkan bapak/ibu dan mensimbolisasikan ikatan dua belah pihak yang akhirnya melahirkan produktivitas. Ikatan petani tebu dan PG dalam kerangka hubungan simbiose mutualis diharapkan bisa menghasilkan produktivitas yang tinggi setelah adanya saling pengertian dan hubungan yang harmonis di antara keduanya. Jenang sengkolo melambangkan harapan agar Tuhan senantiasa menjauhkan dari segala marabahaya yang bisa merusak ikatan itu. Sedangkan cok bakal melambangkan asal muasal manusia. Bahwa atas perjuangan keras yang dilakukan secara gigih dan tidak kenal lelah itu pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari peran Tuhan sebagai tempat manusia berasal dan akan berpulang. Oleh karena itu, cok bakal merupakan ekpresi tawakal, setelah segala ikhtiar dilakukan.
Pelaksanaan “petik tebu manten” di lingkungan PG Semboro Jember Jawa Timur pada tahun 2005 diawali dengan memetik (mengambil) 13 batang “tebu manten” pada hari Kamis sore tanggal 5 Mei untuk kemudian “dipingit” atau disemayamkan di “Pondok Asri” selama satu malam. Pada hari Jumat pagi tanggal 6 Mei sekitar jam 07.00 WIB dilanjutkan dengan acara siraman, midodareni, kirap manten, dan kemudian temu manten. Sebelum acara siraman dimulai, pasangan mempelai yang diperankan pemuda desa dan gadis desa terpilih, dipersilakan duduk di dampar (tempat duduk manten) dan diiring pengiring yang juga berasal dari gadis-gadis dan pemuda-pemuda desa terpilih dengan memakai pakaian pengantin Jawa. Dampar itu bertempat persis di depan “pondok Asri” dan berhadapan langsung dengan undangan yang berasal dari manajemen PG, petani tebu dan sesepuh desa maupun alim ulama setempat. Setelah pasangan mempelai duduk di “dampar manten”, acara dilanjutkan dengan memetik “pengiring tebu manten” sebanyak 13 batang yang dilakukan oleh personalia manajemen PG dan petani tebu secara bergantian. Acara itu diiringi gending-gending Jawa sebagaimana acara perkawinan dalam adat Jawa dilakukan dan dipandu oleh pranoto coro (pembawa acara) dalam bahasa Jawa.
Setelah “tebu pengiring manten” selesai dipetik dan dipegang berjajar-jajar di samping pasangan manten yang diperankan pemuda dan gadis desa, acara dilanjutkan dengan siraman. “Tebu manten” yang telah dipingit selama semalam kemudian dikeluarkan dari Pondok Asri untuk kemudian dilakukan siraman. “Tebu manten” yang telah ditata itu kemudian disiram dengan air kembang melalui sebuah kendi (teko Jawa yang bahannya berasal dari tanah) yang dilakukan oleh Adm PG Semboro dan Ketua APTRI Arum Sabil. Siraman ini memiliki makna pensucian diri baik lahir maupun batin di mana ikatan perkawinan hendaknya didasari oleh niat yang suci untuk bersatunya dua keinginan.
Secara filosofis, siraman ini mengandung pesan bahwa “perkawinan kerjasama” antara PG dan petani hendaknya didasari oleh motivasi yang bersih untuk bekerja secara beriringan, bukan oleh motivasi saling mencuri keuntungan, saling mengalahkan atau saling memanfaatkan antara yang satu dengan yang lain.
Kemudian acara dilanjutkan dengan “pecah kendi’ oleh Adm PG Semboro dengan dengan melafalkan kata-kata sebagai berikut: “aku ora mecah kendi, ning mecah pamore raden Bagus Rosan lan Diah Roro Manis” (saya tidak memecah teko tanah ini, tetapi memecah pamornya Raden Bagus Rosan dan Diah Roro Manis). Kata-kata itu sebenarnya merupakan ekpresi pengharapan kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar tebu yang dihasilkan dalam panen kali ini memperoleh hasil yang memuaskan. Acara pecah kendi ini menandai berakhirnya acara siraman yang kemudian dilanjutkan dengan midodareni atau persiapan manten untuk dipertemukan dengan prosesi dipingit terlebih dahulu.
Prosesi midodareni ini dilakukan dengan mengikat tebu baik “tebu manten” maupun “tebu pengiring manten” yang di dalamnya terdapat prosesi “iket rikmo” atau mengikat daun tebu manten dan pengiring manten dan “tigas rikmo” yaitu memotong pucuk daun tebu untuk dilarung di sungai yang berada antara kebun tebu dan Pondok Asri. Sebagai diungkapkan pranoto coro “tigas rikmo” ini dimaksudkan untuk membuang sial. Sehingga bisa dimaknai sebagai pengharapan agar proses “perkawinan kerjasama” antara petani tebu dan PG terbebas dari marabahaya sehingga berjalan lancar. “Tebu manten” dan “tebu pengiring manten” kemudian dipingit sebagai persiapan sebelum dikirap menuju PG.
Prosesi ini kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh KH MA Saiful Rijal AS, seorang kiai pimpinan pondok pesantren di Jember dan dilanjutkan dengan potong tumpeng oleh Adm PG dan Arum Sabil. Setelah itu dilakukan “kembul bujono” atau makan bersama antara manajemen PG, petani, dan undangan yang hadir dengan menu “tumpeng robyong” atau tumpeng lengkap yang disediakan oleh panitia. “Kembul bujono” ini diringi gending-gending Jawa namun bersyair Islami, sehingga dalam prosesi itu sangat jelas suasana religiusitasnya.
“Kembul bujono” memiliki makna filosofis adanya kebersamaan antara pengelola PG dan petani yang dicerminkan melalui kebersamaan dalam bentuk makan bersama tanpa membedakan strafikasi sosial, baik antara pimpinan dan bawahan maupun petani tebu. Semuanya duduk dalam satu tempat dengan menu yang tidak berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hal itu menyiratkan pesan bahwa hasil kerja yang baik itu apabila dilakukan dengan penuh kebersamaan, kesetaraan, saling mempercayai, dan tanpa saling curiga.
Setelah kembul bujono dengan para petani, karyawan PG, dan undangan, sekitar jam 09.00 WIB kirap tebu manten dimulai. “Tebu manten” dan “tebu pengiring manten” dikirap menuju lokasi penggilingan di PG Semboro dengan menggunakan puluhan mobil dan kereta safari yang dipimpin langsung oleh Ketua APTRI H.M. Arum Sabil. Iring-iringan “tebu manten” itu terdiri dari pembawa “tebu manten” dan “tebu pengiring manten”, disusul simbolisasi pengantin yang diperankan oleh pemuda-pemuda dan gadis-gadis desa dengan pakaian pengantin Jawa, para petani, undangan, dan anggota masyarakat yang secara sukarela dan suka cita mengikuti iring-iringan “tebu manten” dengan mengendarai puluhan mobil dan ratusan motor.
Rute iring-iringan melewati perkampungan warga dan areal-areal perkebunan tebu di sepanjang jalan menuju PG yang berjarak sekitar 10 kilometer dari lokasi “petik tebu manten”. Sehingga banyak warga masyarakat menyambut secara antusias dari pinggir jalan yang dilalui. Keceriaan akan datangnya musim giling terlihat jelas dari raut wajah mereka. Iring-iringan semakin lambat ketika semakin dekat dengan PG. Hal itu dikarenakan sambutan masyarakat yang berbaur dengan para “pedagang dadakan” yang berjejer-jejer sepanjang 1 kilometer di jalan masuk menuju PG semakin memperlambat iring-iringan “tebu manten”. Maraknya pedagang mainan dan minuman umumnya sudah mulai terlihat satu minggu sebelum “petik tebu manten” dimulai dan akan berlangsung selama satu bulan penuh. Oleh karenanya, walaupun hanya berjarak 10 kilometer, iring-iringan “tebu manten” beserta pengiringya baru bisa memasuki lokasi penggilingan setelah menghabiskan waktu tidak kurang dari 1 jam.
Sesampainya di pintu gerbang PG, iring-iringan turun dari mobil dan disambut atraksi “Reog Ponorogo” yang dimainkan oleh puluhan muda-mudi. Iring-iringan dipimpin tokoh petani tebu yang juga ketua APTRI Arum Sabil dengan berjalan kaki menuju lokasi penggilingan tebu dan dipandu oleh seorang cucuk lampah (pemandu rombongan) seorang penari Jawa serta diring-iringi dengan gending “kebo giro” khas pengiring pengantin Jawa. Sesampainya di lokasi penggilingan, iring-iringan “tebu manten” yang dipimpin Arum Sabil disambut oleh Adm PG semboro beserta karyawannya di bawah alunan gamelan Jawa yang secara khusus didatangkan di lokasi Giling.
Acara selanjutnya adalah prosesi “temu manten” di mana Ketua APTRI HM Arum Sabil mewakili petani tebu menyerahkan “tebu manten” dan “tebu pengiring manten” kepada Adm PG Semboro untuk di proses menjadi gula. “Temu manten” tersebut diawali dengan ikrar penyerahan “tebu manten” kepada Adm PG yang dilakukan oleh Arum Sabil. Dengan mantap, tegas, dan penuh khidmat Arum Sabil mengucapkan ikrar penyerahan itu:
“Bismillahirrohmaanirrohiim. Bersama ini saya serahkan tebu ini kepada Bapak Adm PG Semboro untuk di proses menjadi gula secara baik sebagaimana saya telah merawatnya selama ini. Perlu bapak ketahui tebu ini telah saya rawat selama satu tahun. Saya olah tanahnya, saya pupuk, saya beri air, dan saya jaga dari hama. Saat ini, saya serahkan kepada Bapak agar bisa diproses menjadi gula dengan baik sehingga hasilnya maksimal. Saya minta Bapak Adm untuk bisa menjaga kepercayaan ini”.
Selanjutnya Toekidjo, Adm PG Semboro mengucapkan ikrar penerimaan “tebu manten” itu:
“Dengan mengucap Bismillahirrohmaanirrohiim, tebu ini saya terima dan akan saya proses dengan baik untuk menjadi gula. Saya akan menjaga amanah Bapak Arum Sabil sebagai wakil petani tebu untuk memproses tebu ini dengan baik. Saya minta doa restu kepada Pak Arum Sabil dan segenap petani tebu serta para undangan yang hadir agar Tuhan Yang Maha Esa senantiasa mencurahkan karunianya sehingga pekerjaan kami lancar dan tidak ada hambatan apa pun, sehingga gula yang dihasilkan akan maksimal”.
Usai ikrar penerimaan “tebu manten” diucapkan oleh Toekidjo, Adm PG Semboro, tepuk sorai dari undangan gegap gempita membahana di aula giling tebu PG Semboro di tengah gamelan Jawa yang tiada henti mengalun. Selanjutnya Toekidjo membalikkan badan dan memberikan ikrar instruksi kepada segenap jajaran karyawannya yang tadinya mengiringi di belakang Toekidjo.
“Dengan mengucap Bismillahirrohmaanirrohiim, tebu yang dipercayakan petani kepada kita ini saya serahkan kepada segenap karyawan PG Semboro untuk diproses secara baik. Kita harus bisa menjaga amanah para petani ini sehingga bisa meperoleh hasil gula yang maksimal. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridhoi kita. Amin”.
Prosesi selanjutnya, karyawan PG Semboro terutama kepala-kepala unitnya yang juga berpakaian adat Jawa, satu per satu menerima “tebu manten” dan “tebu pengiring manten” untuk kemudian membawa tebu itu ke mulut penggilingan. Karyawan PG yang lain, segera sigap dan membunyikan sirine sebagai pertanda roda giling pertama tahun itu akan bergerak setelah selama berbulan-bulan libur. Satu per satu “tebu manten” dimasukkan ke penggilingan yang diiringi sorak-sorai para pengunjung yang berbaur dengan para karyawan. Hingga akhirnya semua tebu manten dan tebu pengiring manten masuk ke mulut penggilingan dan pelan-pelan tergilas oleh roda giling. Bergeraknya roda giling pada hari itu hanya merupakan simbolisasi, karena permulaan giling yang sebenarnya akan dimulai pada tanggal 19 Mei. Sejak tanggal itulah roda giling akan terus berputar dan tidak akan berhenti selama 180 hari.
Acara dilanjutkan ramah tamah dalam bentuk “dansa ala Jawa” yang umum dikenal dengan istilah “tayuban”. Beberapa penari berpakaian Jawa menari bersama secara bergantian dengan pimpinan PG dan para petani di bawah alunan gending Jawa. Menarik untuk dicermati ketika gending yang dilantunkan pertama kali untuk tayuban itu berjudul “ojo lamis” yang artinya jangan bebohong. Pranoto coro menguraikan bahwa gending itu merupakan pesan agar para karyawan PG Semboro tidak lamis (bohong) khususnya dalam masalah rendemen.
“Hari ini kita harus terbuka, dan tidak ada kebohongan lagi, terutama dalam masalah rendemen. Para karyawan jangan sampai berbohong, mari kita berbuat jujur kepada petani”.
Itulah uraian pranoto coro yang menjelaskan kontektualisasi gending lamis pada prosesi hari itu. Menarik, karena pesan yang sebenarnya kritis itu disampaikan dalam alunan lagu yang indah dan di tengah keceriaan. Sehingga pesan itu mengena sasaran tanpa menyinggung perasaan.
Acara tayuban dilakukan bergantian mulai karyawan PG struktur teratas hingga pada level bawah sampai pukul 11.00 WIB dan diakhiri karena akan segera melakukan sholat Jumat. Walaupun demikian “petik tebu manten” dan “pesta giling” tidak berakhir pada hari itu. Acara perayaan dan berbagai ajang seni terus berlangsung sebulan penuh.
Usai acara, HM Arum Sabil menguraikan bahwa kegiatan “petik tebu manten” itu sudah berlangsung sejak jaman nenek moyangnya atau sudah berjalan lebih dari 70 tahun, tepatnya sejak PG Semboro didirikan pada era kolonial Belanda. Menurutnya “petik tebu manten” tidak bisa dilihat hanya pada aspek budayanya saja, akan tetapi juga pada aspek spirit atau ruh dan filosofi dari kegiatan ini.
Pertama, prosesi “petik tebu manten” merupakan ekspresi atau demonstrasi perasaan kegembiraan dari segenap petani tebu, karyawan PG, masyarakat sekitar akan datangnya musim giling yang berarti terbukanya lapangan pekerjaan bagi puluhan ribu orang yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dari proses giling dalam sebuah PG. Petani tebu, karyawan PG, jasa tebang dan jasa angkutan, merupakan orang-orang yang terlibat langsung. Sementara para penjual jasa makanan dan minuman di sekitar kebun tebu, para anggota keluarga petani, karyawan PG, jasa tebang dan jasa angkutan maupun usaha-usaha jasa tempat nantinya para anggota keluarga orang-orang yang terlibat langsung dengan proses giling ini akan membelanjakan uangnya merupakan orang-orang yang tidak terlibat secara langsung namun akan juga menerima berkah dari datangnya musim giling. Begitu besarnya dampak ekonimis musim giling, maka wajar apabila petani tebu, karyawan PG, dan warga sekitar merayakannya dalam bentuk “petik tebu manten” dan dilanjut dengan “pesta giling” dengan segala perayaannya selama sebulan penuh.
Kedua, merupakan simbolisasi pengharapan dan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, agar kerja besar yang akan dihadapinya, mulai dari tebang tebu, angkut dan pengilingan, serta lelang gula dibebaskan dari marabahaya, sehingga hasil usahanya akan maksimal. Arum Sabil menuturkan bahwa bentuk-bentuk marabahaya itu bisa beragam seperti adanya kecelakaan angkutan, kebakaran tebu, berhentinya mesin giling maupun adanya kecelakaan yang menimpa para karyawan dan tenaga kerja. Oleh karena itu, sebagai bentuk pengakuan akan keterbatasan kemampuan manusia, maka sebelum memulai kerja besar itu para petani tebu, karyawan, dan anggota masyarakat memohon doa melalui beragam prosesi tersebut agar Tuhan Yang Maha Esa memberi perlindungan.
Ketiga, “petik tebu manten” merupakan simbolisasi pesan kepada petani maupun manajemen dan karyawan PG, bahwa terlaksanannya pekerjaan besar berupa giling tebu itu merupakan “perkawinan kerja” antara petani dan PG. Petani sebagai pemasok bahan baku, sedangkan manajemen dan karyawan PG sebagai tenaga pemrosesnya di mana antara satu sama lain saling membutuhkan dan saling tergantung. Maka prosesi “petik tebu manten” menggambarkan ikatan kerjasama antara petani tebu dan PG yang digambarkannya sebagai ikatan perkawinan. Hubungan PG dan petani tebu diibaratkan hubungan suami istri. Selayaknya suami istri dalam sebuah lembaga perkawinan, maka PG dan petani tebu harus mengikat komitmen untuk saling percaya, saling terbuka, berkomunikasi secara harmonis dan menghilangkan segala bentuk rasa curiga, saling menguasai, saling mencurangi, dan mengeksploitasi.
Keempat, “petik tebu manten” merupakan manifestasi dari tumbuhnya spirit hidup, baik dari petani tebu, manajemen dan karyawan PG, serta warga sekitar beserta keluarganya. Terbukanya lapangan pekerjaan, telah memunculkan harapan baru bagi puluhan ribu orang di sekitar yang terlihat dari keceriaan mereka selama menikmati “pesta kebun tebu” selama satu bulan penuh yang diawali oleh “petik tebu manten”. Perputaran uang menjadi meningkat, layanan-layanan jasa menjadi hidup kembali, harapan-harapan keluarga petani dan karyawan PG menemukan kesempatan untuk bisa dipenuhi. Biaya sekolah anak-anak, tanggungan-tanggungan hutang yang harus dilunasi maupun keperluan-keperluan hidup yang harus dipenuhi.
Menurut Arum Sabil, manfaat “pesta kebu tebu” yang diawali “petik tebu manten” juga merupakan ajang kreativitas bagi para seniman untuk bisa menunjukkan buah karyanya. Pentas-pentas seni yang digelar sebulan penuh merupakan wadah swadaya bagi aktualisasi para seniman daerah untuk menunjukkan hasil latihan yang telah dilakukan dengan tekun.
Mengomentari “pesta kebun tebu” ini Arum Sabil mencoba mengajak merenungkan betapa terpukulnya ekonomi rakyat apabila PG sampai tutup akibat maraknya penyelundupan dan instruksi IMF. Puluhan ribu orang akan kehilangan pekerjaan, kehilangan spirit dan keceriaan hidup, bukan hanya akan dirasakan oleh petani dan Karyawan PG, namun juga masyarakat sekitar yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan usaha tebu ini. Betapa bodohnya bangsa ini ketika harus menuruti perintah IMF dan bersedia menutup 41 PG di Jawa, maka akumulasi orang-orang yang kehilangan pekerjaan akan mencapai ratusan ribu orang. Betapa besar dampaknya, ketika para petani tebu menyerah dengan penyelundupan gula impor dan mengakibatkan PG tutup, akibatnya roda ekonomi ratusan ribu orang akan terhenti.
“Kita mesti tetap melihat pesta kebun tebu ini harus berlangsung, bahkan anak cucu kita. Karena adanya pesta kebun tebu, berarti ratusan ribu orang masih bisa menambatkan harapan hidupnya pada usaha ini”.
9.1.2 “Metikan” PG Jatibarang
Berbeda dengan PG Semboro, di PG Jatibarang Brebes Jawa Tengah, prosesi awal “pesta kebun tebu” dikenal dengan istilah upacara “metikan”, yang berasal dari bahasa Jawa “petik” yang berarti memetik. Istilah petik ini juga umum dipakai bagi masyarakat nelayan ketika musim ikan tiba dan oleh karenanya dilakukan upacara petik laut.
Biasanya pada malam sebelum upacara “metikan” digelar, dilakukan pembacaan salawat. Maka, lantunan salawat nabi dan rampak rebana terdengar di sela-sela roda baja tua mesin pemeras pabrik gula. Ratusan karyawan pabrik gula duduk bersila dengan khusyuk membaca doa demi keselamatan dan keberhasilan musim giling yang akan dijalani.
Sama dengan yang terjadi di PG Semboro, upacara dan kegiatan yang diselenggarakan PG tersebut memiliki magnitude bagi masyarakat untuk terlarut di dalamnya melalui serangkaian kegiatan. “Pesta kebun tebu” ditempat ini telah menjadi pesta rakyat dalam kalangan yang luas dan tidak hanya monopoli karyawan PG. Contohnya dengan adanya pagelaran pasar malam yang dilangsungkan selama beberapa hari. Sebagai gambaran suasana pasar malam di PG Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah pada tahun 2003 berlangsung sangat meriah. Anak-anak, remaja, dan orang tua membanjiri arena pasar malam yang padat hingga menutupi jalan sepanjang tak kurang dua kilometer di depan pabrik. Kota kecamatan yang kesehariannya tampak sunyi, dalam sepuluh hari terjadi hiruk-pikuk oleh kemeriahan pesta rakyat menjelang musim giling.
Pusat ekonomi skala kecil tumbuh di sekitar pusat pesta menandakan akan adanya rezeki dengan dimulainya giling tebu itu. Keramaian itu mengundang para pedagang dari luar Jatibarang untuk menggelar dagangannya. Serta hiburan musik dangdut dengan penyanyi lokal Jawa Tengah yang tetap menjadi hiburan primadona bagi kaum pedesaan di wilayah itu.
Perputaran uang di pasar malam itu diperkirakan puluhan juta setiap malam. Tiket masuk untuk nonton dangdut Rp 5.000 per kepala dan stan berkapasitas tempat duduk 300 kursi. Dalam semalam, stan dangdut tersebut dapat mengelar delapan kali pertunjukan. Belum lagi para pedagang arum manis hingga pakaian.
Denyut ritme kehidupan rakyat jelata dan nadi perekonomian rakyat terasa tumbuh. Denyut perekonomian tersebut terselenggara secara murni dari kreativitas masyarakat setempat dan bukan prakarsa pemerintah daerah setempat. Geliat ekonomi itu dijalankan rakyat secara mandiri.
Suasana di atas merupakan cermin singkat yang amat terasa betapa perekonomian rakyat pedesaan secara riil itu kentara, di sekitar lokasi pabrik gula menjelang musim giling. Perekonomian rakyat bawah menjadi hidup dan menjadi mata rantai perekonomian rakyat yang tak terputus selama musim giling bergulir.
Mulai persiapan musim giling, pabrik gula sudah membutuhkan tenaga buruh untuk memperbaiki mesin pabrik yang rusak agar rendemen yang dihasilkan meningkat. Di lahan pertanian dibutuhkan buruh tebangan, sementara sebelumnya tenaga kerja dibutuhkan untuk pemilahan bibit untuk musim tanam tahun depan. Sopir-sopir truk yang mengangkut tebu dari lahan tebangan menuju pabrik juga ketiban rezeki. Belum lagi masyarakat sekitar pabrik yang memanfaatkan musim giling untuk membuka warung makanan, tentunya juga para petani tebu di kawasan itu. Mata rantai ekonomi semacam itu menjadi panjang dan tak terputus bila ingin dijabarkan satu per satu.
Memang tak dapat dimungkiri, secara sistematis industri gula di Pulau Jawa yang notabene peninggalan Belanda itu masih bersifat tradisional dan membutuhkan banyak tenaga kerja, namun setidaknya mampu memberikan penghidupan bagi masyarakat pedesaan.
9.1.3 “Cembengan” PG Tasik Madu
Berbeda dengan PG Semboro Jember Jawa Timur dan PG Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah, PG Tasikmadu, Karanganyar Jawa Tengah, menyebut prosesi awal “pesta kebun tebu” ini dengan istilah Cembengan.
Upacara Cembengan semula hanya merupakan upacara ritual yang dilakukan oleh para pekerja di dalam PG untuk meminta keselamatan dan hasil produksi yang baik. Namun perkembanganya telah berubah menjadi pesta rakyat bagi masyarakat sekitar pabrik. Keramaian selama perayaan Cembengan menyerupai pasar malam yang berlangsung antara satu hingga dua pekan.
Puluhan pedagang mainan, pakaian, dan makanan menggelar dagangannya, baik di sekitar pabrik hingga ke halaman dalam pabrik. Berbagai jajan tradisional seperti es dawet, brondong jagung, arum manis, komedi putar, hingga pentas dangdut membuat Cembengan selalu menimbulkan kemeriahan yang melegakan. Pada hari-hari seperti ini, citra pabrik yang biasanya angker untuk sementara tersingkir. Antara karyawan dan warga masyarakat sesaat membaur.
Sayangnya, upacara Cembengan dan segenap nilai budaya lama yang mendukung keberadaan industri PG di Jawa itu kini telah mulai memudar seiring kemajuan jaman di satu sisi, dan mulai hilangnya kepercayaan terhadap satu sub sektor perekonomian yang lebih dari satu abad dianggap menjadi sumber penghidupan oleh sekian banyak orang.
Menurut sejarahwan Drs Soedharmono SU dari Universitas Sebelas Maret Solo (Kompas, Jumat 2 Juni 2000), ritual Cembengan sebenarnya merupakan adopsi dari tradisi Cina, Cing Bing. Yaitu tradisi ziarah ke makam leluhur menjelang suatu karya besar. Masyarakat keturunan Cina yang bermukim di pantura (pantai utara) Jawa yang mengenal teknologi pembuatan gula tebu ini pada masa lalu selalu melakukan upacara Cing Bing sebelum memproduksi gula.
Ritual Cembengan di PG Tasikmadu juga didahului ziarah ke makam-makam pendiri Praja Mangkunegaran di tujuh lokasi. Diawali dengan penebangan dua batang tebu temanten (pengantin) yang akan dijadikan tebu pertama pada saat giling perdana esok harinya. Petangnya dilanjutkan dengan ritual untuk meletakkan sesaji di lokasi mesin-mesin produksi yang dianggap vital.
Sesaji itu diletakkan di dalam jodang-jodang yang dihias dengan kertas. Isinya jenang, gecok bakar, telur asin, kinangan, tumpeng, ketupat, dan sebagainya. Dalam ritual itu, sembilan ekor kerbau dipotong dan kepalanya ditaruh di bagian-bagian mesin yang dianggap vital. Upacara yang disertai doa memohon keselamatan biasanya dipimpin langsung Administratur PG.
Rangkaian upacara ritual itu dilakukan dengan khidmat, serta melibatkan kalangan santri yang membawakan doa keselamatan. Esok harinya, mengawali giling perdana, dilakukan prosesi bagi tebu temanten berikut tebu pengiring. Ada perlakuan khusus bagi tebu-tebu tersebut. Selain batang tebunya dipilih yang paling baik dan memiliki rendemen tinggi, tebu temanten didandani layaknya pengantin dan mengenakan topeng Dewi Sri dan Dewa Sadana yang melambangkan kepercayaan masyarakat agraris.
PG Tasikmadu sekitar 15 kilometer arah timur Kota Solo, adalah PG kedua setelah PG Colomadu (1860), yang dibangun oleh pribumi yakni KGPAA Mangkoenagoro (MN) IV pada 11 Juni 1871. MN IV adalah seorang Adipati dari Pura Mangkunegaran yang terkenal sebagai pujangga, sekaligus cendekiawan yang memiliki pandangan jauh ke depan.
PG Colomadu (ditutup tahun 1997) dan PG Tasikmadu merupakan monumen hasil karya MN IV yang merefleksikan kecendekiawanan MN IV yang mumpuni (unggul) pada jamannya. Itu menunjukkan bahwa ia seorang ilmuwan yang menguasai berbagai masalah secara komprehensif.
Pembangunan PG ini, MN IV memiliki perhitungan yang amat matang. Hal itu terlihat dari posisi Waduk Delingan dekat PG Tasikmadu, dan Waduk Cengklik untuk kebutuhan PG Colomadu sengaja dibangun sebagai sumber air yang memberi pengairan kepada area tanaman tebu kedua PG, sehingga memberi dukungan bagi PG.
MN IV pun amat memperhatikan pelestarian hutan di sekitar waduk. Di samping untuk mencegah erosi, juga terjadi resapan air. Selain itu, ia membuat jaringan irigasi pengairan, bendung-bendung sungai, jalan untuk transportasi, serta jaringan rel kereta lori pengangkut tebu.
Dengan membuat jalur-jalur transportasi itu, selain untuk kepentingan pengangkutan hasil produk, jaringan transportasi juga sampai ke pelosok desa, sehingga PG menjadi sentra kegiatan ekonomi pada waktu itu. PG Tasikmadu merupakan aset ekonomi dan aset budaya yang tak ternilai.
9.1.4 “Ruwatan” PG Jatiroto
Lingkungan PG Jatiroto, Jember, Jawa Timur, juga menyelenggarakan prosesi awal “pesta kebun tebu” yang disebut dengan “ruwatan” yang berarti upacara tolak balak. Kemudian dilanjutkan dengan acara pasar malam yang terselenggara menjelang buka giling. Acara ini dikenal oleh masyarakat setempat dengan istilah Nayuban, namun juga ada yang memberi istilah Royalan. Perayaan itu biasanya diselenggarakan di halaman maupun tanah lapang sekitar pabrik gula, sehingga tempat itu dipenuhi berbagai atraksi guna memberi saran hiburan bagi masyarakat sekitar pada saat pesta giling. Peserta pasar malam biasanya datang dari berbagai kota, seperti Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo. Para pedagang datang tanpa diundang sambil menggelar berbagai sarana hiburan dan mainan anak-anak.
Tradisi “ruwatan” tampaknya sulit dihapus. Sebab, sangat erat sekali kaitannya dengan psikologi massa dan sugesti di masyarakat sekitar, terutama pekerja pabrik. “Pernah suatu ketika PG tidak melaksanakan ruwatan, akibatnya para pekerja malas-malasan, bila sampai terjadi kerusakan di pabrik atau musibah menimpa karyawan, maka mereka akan menyalahkan para pimpinan atau penanggung jawab perusahaan” (Kompas, Jumat 2 Juni 2000).
Pada saat musim giling, biasanya PG Jatiroto mempekerjakan tenaga musiman sebanyak 6.500 orang. Pekerjaan itu terbagi dari beberapa kelompok. Antara lain pekerja tebang tanaman sebanyak 4.000 orang dan pekerja pabrik sekitar 2.500 orang. Untuk setiap hektare tanaman tebu, paling sedikit akan mengerahkan sebanyak 10 truk. Mereka memperoleh upah paling sedikit sama dengan upah minimal regional (UMR), jika prestasi kerja melampaui standar bisa memperoleh upah lebih dari itu. Maka wajar apabila sebelum memulai pekerjaan besar itu masyarakat membudayakan untuk berdoa yang dimanifestasikan ke dalam beragam cara, agar pekerjaannya tidak menemui hambatan sehingga berhasil secara maksimal.
9.1.5 “Badrian” Jawa Barat
“Pesta kebun tebu” ini tampaknya telah melekat dan menjadi memori tersendiri bagi petani tebu dan masyarakat sekitar PG. Mari coba kita simak catatan harian Riadi dalam http:// riadi. blogdrive. com/ comments?id=18. Dalam catatan itu, Riadi menceritakan bahwa ambruknya PG telah melenyapkan pula “pesta kebun tebu” yang namanya “Badrian”. Kalau ditilik dari tulisan ini, kemungkinan lokasinya di sekitar Bandung, Jawa Barat. Cuplikan catatan tersebut digambarkan sebagai berikut:
“Perjalanan sebelas kilometer berikutnya adalah perjalanan rutin yang biasa dilakukan tiga tahun berturut-turut selama masa putih-abu. Angkot yang dulu biasa ditumpangi kini sudah berubah. Warnanya tetap kuning tapi bentuknya sudah sama dengan angkot Bandung. Dulu pintu masuknya dari belakang. Dan kapasitas bangku buat duduk berhadap-hadapan lebih panjang. Dan yang asyik, kalau lagi penuh sesak, kemungkinan untuk terjadi adu dengkul dengan penumpang di seberang bisa terjadi. Belum lagi ongkosnya yang murah. Dengan seratus rupiah perjalanan ke sekolah bisa tercapai sekitar 15 menit. Pukul rata, tiap kilometer nggak sampai sepuluh perak. Kalau mau murah lagi bisa nunggu bis dari Bandung dan cukup dengan membayar setengah harga. Banyak sekali perubahan yang terlihat di sepanjang jalan dari kampungku menuju sekolah. Pasar yang dulu pernah kebakar, memang masih tetap ada. Namun, jalan rel di seberangnya yang dulu posisinya dua meter di atas permukaan jalan raya, kini hilang dan sudah rata, sehingga jalan raya pun melebar. Hilangnya rel itu, bisa jadi karena sudah tidak berfungsinya pabrik gula yang dulu jadi bagian dari denyut ekonomi kampungku ini. Pabrik yang dulu megah dengan bangunan tua peninggalan Belanda, dengan lori, (gotrok), dan gerbong-gerbong pengangkut tebu yang berjejer, kini hanya tinggal puing dan belukar. Cuma cerobong asapnya saja yang bersisa. Yang lebih miris lagi, deretan rumah-rumah kuno para ambtenar pabrik juga sama telantarnya. Tidak serapih dan seapik dulu. Hanya beberapa rumah saja yang masih diisi. Sedangkan rumah yang paling gede, dengan pendopo dan pilar-pilarnya yang jumlahnya tinggal beberapa, malah sama sekali tdak berpenghuni. Layak untuk dijadikan lokasi uka-uka.
Kompleks pabrik gula itu, seingatku merupakan bagian elit dari kampungku. Dulu kalau lebaran selalu melaksanakan sholat Ied di lapangan di dalam kompleks itu. Dan, saya suka sedikit iri dengki dan ingin sekali tinggal di rumah kompleks itu. Pekarangan luas dengan tetumbuhan hijau dan rindang. Rumah yang kokoh dan besar-besar. Mirip rumah peristirahatan saja. Matinya pabrik gula, juga mematikan tradisi pesta panen tebu. Setiap April ada yang namanya ‘Badirian’. Pesta rakyat untuk merayakan panen raya tebu. Kompleks pabrik pun selama beberapa minggu ramai. Di tanah lapang tempat biasa sholat Ied, berdiri wahana-wahana permainan hiburan macem komidi putar vertikal dan horizontal dengan berbagai derivatifnya, tong setan, rumah setan, dan sejenisnya. Yang jualan pun ramai pula. Tidak hanya di dalam kompleks, namun juga sepanjang jalan raya di depannya. Yang saya ingat, banyak sekali tukang martabak telur yang berderet-deret dari daerah pantura, macem brebes dan tegal. Konon kabarnya mereka memang spesialis jualan di pesta tebu. Sekadar informasi, di kabupatenku dulu ada tiga pabrik gula yang beroperasi. Sepanjang jalan mestinya kebun tebu menghias pemandangan. Sekarang lahan-lahan itu berubah. Sebagian jadi sawah atau ladang, sebagian lagi menjadi perumahan. Mobil melaju lancar sampai akhirnya tiba di kota tujuan. Kesanku, kota ini masih sesepi dulu-dulu. Kurang berdenyut untuk disebut kota kabupaten. Jadi sepertinya julukan kota pensiunan masih layak disandang. Yang membedakan sekarang udaranya lebih panas, Mak !”
Catatan harian Riadi di atas menujukkan ikatan emosional yang kuat masyarakat terhadap “pesta kebun tebu”. Banyak memori masyarakat, baik yang indah-indah maupun susah yang memiliki setting (latar) kebun tebu. Sayangnya, di kampung halaman Riadi semua tinggal kenangan.
9.2 Tebu Sumber Inspirasi Budaya
“Pesta kebun tebu” merupakan budaya yang mengakar di lingkungan petani tebu maupun masyarakat sekitarnya. Sebuah budaya yang unik dan khas mengambil inspirasi dari aktivitas tebu yang akhirnya dapat disebut dengan “budaya kebun tebu”. Tebu sendiri bukan saja telah menjadi simbol sekaligus sumber inspirasi terbentuknya komunitas budaya, akan tetapi juga peradaban manusia.
9.2.1 Sejarah Kota Rembang
Banyak contoh budaya yang menjadikan tebu sebagai sumber inspirasi. Misalnya, legenda kota Rembang, yang kisahnya dapat kita lihat dalam situs Rembang.go.id. Konon ceritanya sekitar tahun Saka 1336, datanglah orang Campa Banjarmlati sebanyak delapan orang yang pandai membuat gula tebu. Orang-orang Campa itu pindah dari negerinya berangkat melalui lautan menuju ke barat hingga mendarat di sekitar sungai yang kiri-kanannya ditumbuhi pohon bakau. Mereka dipimpin oleh kakek Pow Ie Din.
Ketika mendarat, mereka melakukan doa dan semedi. Kemudian, mereka mulai menebang pohon bakau dan diteruskan oleh yang lain. Selanjutnya, tanah yang telah terbuka itu dijadikan lahan pategalan, pekarangan, perumahan, dan perkampungan. Kampung tersebut dinamakan KABONGAN berasal dari kata bakau menjadi Ka-Bonga-an.
Pada suatu hari, saat fajar menyingsing pada bulan Waisaka orang-orang akan memulai ngrembang (mbabat; memangkas) tebu. Sebelum ngrembang dimulai, terlebih dahulu diadakan upacara suci sembahyang dan semedi di tempat tebu serumpun yang akan dipangkas. Upacara pemangkasan tebu ini dinamakan Ngrembang Sakawit. Dari kata ngrembang inilah kemudian menjadi kata REMBANG sebagai nama Kota Rembang saat ini.
Menurut cerita rakyat, upacara ngrembang sakawit dilaksanakan pada hari Rabu Legi, saat dinyanyikan kidung, Minggu Kasadha, Bulan Waisaka, Tahun Saka 1337 dengan Candra Senkala: Sabda Tiga Wedha Isyara.
9.2.2 Komunitas Jawa Suriname
Begitu pula terbentuknya komunitas masyarakat Jawa di Suriname, yang juga diawali dari proyek kebun tebu pemerintah Kolonial Belanda. Situs http://www1.sr.net /~t100269/ index/d_sr/c _lembar/04jawa.html memaparkan bahwa dengan berakhirnya sistem perbudakan pada tahun 1863, maka banyak tenaga kerja perkebunan yang meninggalkan pekerjaannya. Mereka beralih ke lapangan kerja lain yang sesuai dengan keinginan masing- masing. Di lain pihak, hasil perkebunan yang saat itu merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Belanda, baik bagi pemerintah koloni maupun pemerintah pusat di Belanda, mengalami kemerosotan yang sangat tajam.
Sehubungan dengan kondisi tersebut maka Belanda mendatangkan orang-orang Indonesia (saat itu bernama Hindia Belanda) untuk memperoleh buruh murah yang akan dipekerjakan di perkebunan tersebut. Hampir semua imigran yang datang dari Indonesia berasal dari Jawa Tengah, karena pada saat itu Jawa Tengah sudah merupakan wilayah yang cukup padat penduduknya. Di samping itu, wilayah Jawa Tengah terbukti paling rawan terhadap bencana alam, terutama bencana letusan gunung berapi yang dalam banyak hal telah mengakibatkan rendahnya tingkat perekonomian penduduk di daerah ini.
Kelompok imigran Indonesia pertama yang terdiri dari 94 orang tiba di Suriname pada tanggal 9 Agustus 1890. Kelompok ini direkrut oleh De Nederlandsche Handel Maatschappij untuk dipekerjakan di perkebunan tebu dan perusahaan gula Marrienburg. Empat tahun kemudian (1894) perusahaan yang sama telah pula mengelola kedatangan kelompok kedua yang terdiri dari 582 orang Jawa.
Sejak tahun 1897 kedatangan para imigran dari Indonesia ini dikelola langsung oleh pemerintah Hindia Belanda. Dari tahun 1890 hingga 1939, jumlah seluruh imigran Indonesia tersebut mencapai 32.956 orang dengan menggunakan 34 kali pengangkutan. Orang-orang keturunan Jawa ini bekerja sebagai buruh perkebunan Belanda berdasarkan sistem kontrak. Berdasarkan perjanjian yang ada, para buruh Jawa tersebut memiliki hak untuk kembali ke negara asalnya (repatriasi) bila telah habis masa kontraknya. Dalam periode tahun 1890 – 1939, tercatat 8.120 orang yang telah kembali ke tanah air dan pada tahun 1947, terjadi lagi gelombang repatriasi dan kali ini tercatat 1.700 orang telah menggunakan haknya.
Repatriasi masal yang terakhir terjadi pada tahun 1954, yaitu ketika sekitar 1.000 orang Jawa meninggalkan Suriname untuk kembali ke Indonesia. Sebagian besar dari para imigran Jawa ini ternyata telah memilih untuk tetap tinggal di Suriname walaupun hubungan kontrak mereka dengan para pemilik perkebunan telah berakhir. Mereka tetap tinggal dan bekerja di daerah perkebunan itu sebagai pekerja bebas.
Bagi mereka, bekerja di perkebunan bukanlah merupakan sesuatu yang baru. Mereka juga telah terbiasa berhubungan dengan para majikan Belanda yang telah bertahun-tahun menjajah Indonesia. Keadaan seperti itulah yang oleh sementara ahli sejarah dipandang sebagai faktor yang mendorong orang-orang keturunan Jawa ini untuk mempertahankan pekerjaannya. Mereka tidak terpengaruh oleh buruh India yang pada umumnya meninggalkan pekerjaan mereka segera setelah masa kontraknya habis. Namun, ketika masa kejayaan perkebunan tebu mulai merosot, banyak orang Jawa yang beralih profesi menjadi buruh industri.
Mereka berpindah ke pusat-pusat pertambangan bauksit seperti Moengo, Paranam dan Biliton. Akibatnya, daerah yang semula dikenal sebagai “Distrik Jawa”, karena sebagian besar penduduknya keturunan Jawa, seperti Saramacca, Coronie, dan Nickerie, semakin kekurangan tenaga buruh.
Menjelang proklamasi kemerdekaan Suriname pada tahun 1975, banyak orang Jawa yang ikut ambil bagian dalam migrasi masal menuju Belanda. Dalam tahun tersebut sekitar 150.000 orang meninggalkan Suriname didorong oleh kekhawatiran mereka terhadap kemungkinan terjadinya bencana nasional serta dominasi dan penindasan politis yang dilakukan oleh golongan Kreol. Kekhawatiran tersebut muncul terutama selama masa kampanye menjelang pemilu tahun 1973, dalam rangka pembentukan pemerintah pertama bagi negara Suriname merdeka yang diwarnai oleh ketegangan hubungan antarsuku di negara tersebut.
Hanya sebagian kecil dari para imigran Jawa yang tiba di Suriname dengan berbekal kemampuan berbahasa Belanda. Mereka juga belum pernah mengenal bahasa yang digunakan oleh masyarakat setempat, seperti Sranan Tongo, Hindi, Amerindian, dan bahasa Bushnegro.
Para imigran tersebut pada umumnya bukan pekerja terlatih, terkecuali sejumlah kecil yang telah memiliki profesi sebagai petani, pekerja pada perusahaan gula, dan buruh perkebunan kopi/coklat. Keadaan tersebut telah diperburuk oleh kenyataan bahwa para penguasa Belanda yang otokratik, tidak memberi kesempatan bagi para imigran Jawa untuk berkembang. Di samping itu, karena Indonesia pada saat itu masih berada di bawah kekuasaan Belanda maka sebagian besar dari para imigran Jawa tersebut tercatat sebagai warga Belanda. Dengan demikian, tidak memiliki perwakilan khusus yang dapat digunakan untuk menyalurkan aspirasi mereka.
Hal ini merupakan unsur lain yang membedakan imigran Jawa dari rekan sekerja mereka yang berasal dari India, karena pada saat itu India telah memiliki suatu perwakilan yang dikenal dengan sebutan Agent General. Dengan demikian, tidak ada satu lembaga pun yang dapat berperan sebagai pendukung bagi perkembangan masyarakat Jawa di tahun-tahun awal keberadaannya di Suriname. Dalam hal ini, satu-satunya fasilitas yang dapat mereka nikmati adalah perlindungan kerja yang diberikan oleh para majikan mereka. Namun para majikan ini pun, dalam peranannya sebagai ujung tombak perekonomian Belanda, akan lebih menitikberatkan pada hasil kerja para buruh dari pada upaya untuk meningkatkan standar hidup bawahannya tersebut.
Ditinjau dari segi ini, maka pembukaan Konsulat Jenderal RI segera setelah diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat keturunan Jawa di Suriname. Faktor lain yang dapat dianggap sebagai penyebab keterbelakangan masyarakat keturunan Jawa ini adalah demikian kuatnya kelompok ini memelihara pola kehidupan tradisional mereka. Mereka selalu menolak setiap pengaruh asing yang dipandang dapat merusak pola kehidupan yang mereka yakini. Mereka juga dikenal sebagai kelompok yang sangat menentang pola kehidupan Barat.
Beberapa orang keturunan Jawa baru dapat menduduki posisi yang agak terpandang setelah kira-kira 30 tahun sejak kedatangan mereka pertama kali. Posisi tersebut misalnya mandor tebu dan lurah di kawasan perkebunan, perawat, interpreter, dan beberapa orang guru.
Pada akhir tahun 1970-an, sejumlah kecil keturunan Jawa telah berhasil menyandang gelar kesarjanaan dalam bidang teknik, hukum, kedokteran, ekonomi, fisika, dan theologi. Namun secara umum, mereka tetap tidak tertarik untuk melakukan kegiatan-kegiatan bisnis, hanya beberapa yang telah berhasil sebagai pengusaha toko, angkutan, dan restoran. Bidang politik ternyata lebih menarik perhatian mereka. Masyarakat Jawa terkotak-kotak oleh adanya beberapa partai yang dipimpin oleh orang-orang yang memiliki pengaruh kuat dan tidak didasarkan pada ideologi yang jelas.
Pada pemilu tahun 1977, partai-partai Jawa tersebut secara bersama-sama berhasil memperoleh empat kursi di parlemen. Pada tahun 1979, dua orang keturunan Jawa berhasil menduduki jabatan menteri dan seorang lainnya menjabat deputi menteri. Pada Tahun 1991, dalam masa pemerintahan Presiden Venetiaan tiga jabatan Menteri dipegang oleh keturunan orang jawa. Di samping itu, partai-partai Jawa (KTPI dan Pendawa Lima) secara bersama-sama berhasil memperoleh delapan kursi di parlemen. Pada saat ini, di bawah pemerintahan Presiden Jules Wijdenbosch, dari 18 jabatan menteri Suriname terdapat enam jabatan menteri dan satu jabatan Deputy Menteri yang dipegang keturunan Jawa. Selain itu, masih terdapat sembilan anggota parlemen keturunan Jawa dari partai koalisi (KTPI dan Pendawa Lima) dan dua anggota dari partai oposisi (Pertjajah Luhur). Namun, jabatan penting lainnya seperti presiden, wakil presiden, Badan Penasehat Negara, dan Lembaga Peradilan, hingga saat ini belum pernah dipegang orang-orang keturunan Indonesia tersebut. Cerita itu hanya sepenggal catatan sejarah bahwa industri gula khususnya kebun tebu sangat melekat dengan proses perkembangan peradaban.
9.2.3 Tebu dan Sejarah Perbudakan
Daratan Eropa merupakan saksi keterkaitan antara perbudakan dengan kebun tebu karena di Eropa perkebunan dan industri gula analog dengan budaya perbudakan. Melalui “triangle of trade”: Eropa-Afrika-India Barat. Dari Eropa dibawa barang-barang hasil industri ke Afrika, kemudian di Afrika ditukar dengan budak, dan budak dibawa ke India Barat ditukar dengan gula, akhirnya gula dan molasses diangkut ke Eropa.
Triangle lainnya adalah New England-Afrika-India Barat, dengan pola yang sama. Jumlah budak ini jutaan orang, sebagaimana tergambar dengan populasi penduduk di Kepulauan Karibia dan Amerika Serikat. Di Indonesia, gula juga tidak lepas dari sejarah perbudakan Kolonial Belanda melalui tanam paksa. Rakyat Indonesia dipaksa untuk menanam tebu yang hasilnya dipergunakan untuk memperbesar cadangan devisa pemerintah Kolonial Belanda.
Tebu Jawa, dengan segenap eksploitasi tenaga kerja rakyatnya telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit pembangunan infrastruktur negara Belanda. Kontribusi gula Jawa telah membuat negeri itu mempunyai kekuatan ekonomi di tengah-tengah kekuatan negara ekonomi kuat Eropa lainnya.
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan dan pasca kemerdekaan juga banyak menceritakan kaitan dengan tebu. Sebagai contoh, suka duka para pejuang bangsa tidak lepas dari konfrontasinya dengan pemerintah kolonial beserta antek-anteknya yang dimulai dari kebun tebu. Kisah para pendukung Pangeran Diponegoro yang membakar kebun tebu di Madiun, merupakan ekpresi perlawanan masyarakat Indonesia terhadap penjajahan Belanda. Tebu pada saat itu merupakan simbol kekuatan ekonomi Belanda di tanah nusantara.
Intrik politik bangsa ini juga tidak lepas dari persaksian kebun tebu. Tulisan Hermawan Sulistyo, “Pembantaian di Kebun Tebu” telah banyak menginformasikan, betapa kebun tebu telah menjadi saksi bisu atas peristiwa-peristiwa itu.
Sejarah menunjukkan bahwa komoditas tebu telah menjadi inspirasi terbentuknya komunitas budaya, yaitu “Komunitas Kebun Tebu” dengan segala budayanya, “budaya kebun tebu”. Budaya kebun tebu umumnya dicirikan dalam bentuk stratifikasi feodal berkaitan pola relasi antara pihak-pihak yang terkait. Hubungan antara, petani, buruh, mandor, dan pabrik merupakan bentuk hubungan bawahan-atasan, kawulo-gusti..
Hierarki pola relasi ini terbentuk melalui evolusi dalam periode panjang dan telah 2.000 tahun berlangsung. Maka tidak heran hingga saat ini di mana demokrasi sedang mainstream, komunitas kebun tebu yang feodalistik, masih sering kita jumpai. Tebu telah menjadi saksi pahit getirnya umat manusia membangun peradaban.
9.3 Makna Filosofis Pesta Kebun Tebu
Sekilas pesta kebun tebu hanya merupakan bentuk perayaan. Namun apabila kita cermati, sebenarnya mengandung filosofi yang mendalam dan keberadaanya telah mendarah daging di masyarakat. Pertama, merupakan manifestasi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, apa pun varian cara yang dilakukan, menurut keyakinan masing-masing. Rasa syukur perlu dikedepankan mengingat kerja kerasnya telah dikaruniai keberhasilan dan sebentar lagi akan melakukan panen. Oleh karena itu, agar mencapai finishing touch (proses akhir) berupa giling tebu dan hasilnya bisa diuangkan secara maksimal, maka dilakukanlah doa agar berjalan dengan sukses.
Kedua, merupakan ilustrasi terkabulnya harapandan penantian panjang selama setahun bekerja keras. Pesta kebun tebu merupakan kristalisasi keceriaan bahwa kerja kerasnya sudah hampir bisa dinikmati. Pesta kebun tebu juga merupakan obat penawar atas keluh kesah petani yang selama proses penanaman dan perawatan mengalami kesulitan modal, pupuk, dan bibit serta ancaman hama. Semua keluh kesah itu terhapus oleh munculnya harapan baru.
Ketiga, merupakan bentuk keberlangsungan roda kehidupan, karena hasil panen itu telah dinantikan untuk melangsungkan hidupnya, membiayai anak-anak dan keluarganya, merupakan pintu untuk meraih cita-cita dalam hidupnya. Sebuah kebanggaan bisa membahagiakan keluarga. Maka pesta kebun tebu merupakan terwujudnya “janji” keluarga yang telah dinantikan selama setahun.
Keempat, pesta kebun tebu merupakan tanda bergeraknya roda ekonomi masyarakat. Hidup menjadi dinamis dan berdampak pada banyak sektor ekonomi rakyat. Pedagang, usaha angkutan, petani, dan karyawan PG beserta keluarganya.
9.4 Pesta Kebun Tebu Harus Tetap Berlangsung
Menelaah lebih lanjut ”pesta kebun tebu” yang sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun itu, Arum Sabil menegaskan bahwa merupakan agenda petani tebu agar “pesta kebun tebu” tetap berlangsung, sekaligus merombak pesta kebun tebu itu menjadi keceriaan yang sejati bagi petani tebu. Bukan kebahagiaan semu, karena dalam sejarahnya petani tebu hanya mendompleng kelezatan komoditas tebu pada juragan-juragan yang feodal.
Sebagai seorang muslim, Arum Sabil sadar bahwa setiap perubahan harus dimulai dari perubahan diri mereka sendiri, bukan melihat orang lain terlebih dahulu. Dalam sebuah ayat Al Quran disebutkan: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka” (TQS Ar Ra’du: 11). Jika petani ingin berubah nasibnya, tidak selalu berada di bawah bayang-bayang keterpurukan, dan iklim feodalistik yang subordinatif, mereka harus bergerak dan bergolak melakukan perubahan yang lebih baik. Potensi kekerabatan petani yang sedemikian kuat akan menyakinkan perubahan itu bisa dilakukan. “Bersama kita bisa”, Itu yang ada dalam benak Arum Sabil sambil mencuplik salah satu slogan kampanye Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Arum Sabil menunjukkan sikap empatinya ketika melihat kegigihan manajemen PT Perkebunan Nusantara XI yang sejak awal tidak akan menutup PG-PG di lingkungan PTPN XI, walaupun banyak PG yang terus merugi selama tahun 2003. Alasannya secara kumulatif pada tahun 2003 itu, pihak PTPN XI masih membukukan laba. Dan yang lebih penting, penutupan PG itu dikhawatirkan akan melenyapkan tradisi komunitas tebu di daerah sekitar PG bersangkutan dan pesta kebun tebu itu dengan sendirinya akan lenyap (Kompas, 14 Januari 2004).
Kenapa pesta kebun tebu itu harus tetap berlangsung? Arum Sabil menegaskan bahwa keberlangsungan pesta kebun tebu memiliki banyak dimensi. Pertama, masih adanya pesta kebun tebu berarti adanya lapangan pekerjaan yang melibatkan secara langsung jutaan orang Indonesia, di mana orang-orang itu menjadi tumpuan anggota keluarganya. Meraka adalah para karyawan PG, petani, dan pekerja musiman PG. Secara tidak langsung akan melibatkan tenaga kerja yang tidak sedikit, mulai dari sektor jasa angkutan (transportasi), usaha sarana produksi pertanian dan penyedia makanan, serta usaha distribusi gula. Karenanya, dengan adanya pesta kebun tebu menandakan bahwa IGN masih eksis dan lapangan kerja masih terbuka.
Kedua, berlangsungnya pesta kebun tebu juga bermakna penyelamatan devisa negara. Pertumbuhan masyarakat Indonesia semakin signifikan dari waktu ke waktu, yang berarti pertumbuhan kebutuhan gula semakin meningkat. Apabila diasumsikan konsumsi masyarakat kita sama dengan kebutuhan pada hari ini, 3,5 juta ton, sementara pesta kebun tebu tidak ada lagi, yang berarti PG-PG ambruk dan akhirnya negara akan tergantung pada belas kasihan impor maka devisa yang akan terkuras untuk memenuhi gula dalam negeri akan mencapai triliunan.
Ketiga, adanya pesta kebun tebu juga menandakan berjalannya roda ekonomi rakyat. Karena persebaran budidaya tebu dan PG berada dalam skala kawasan yang luas, sehingga melibatkan banyak komponen masyarakat dan akan menstimulus gerak laju roda ekonomi rakyat.
Berbagai proposisi itu menjadikan keberlangsungan pesta kebun tebu harus tetap dipertahankan bahkan harus ditingkatkan agar mampu swasembada gula nasional serta petani memiliki keuntungan ekonomis yang memadahi. Untuk menjadikan pesta kebun tebu tetap berlangsung, diperlukan komitmen dan keberpihakan para penyelenggara negara untuk mewujudkannya. Sementara, petani juga tidak boleh ketinggalan untuk berada pada garda terdepan dalam memengawal usaha itu, sehingga kejayaan petani tebu dan IGN benar-benar segera terwujud. “Bagaimanapun pesta kebun tebu harus tetap bisa disaksikan. Bukan hanya oleh kita, akan tetapi juga anak cucu kita”.
***